Di hari itu ia amat senang,
melihatku tumbuh di dalam rahimnya. Tak sedikitpun keluh bergema dalam hatinya,
merasakn mual dan rasa tak enak lainya yang kubuat. Ia tetap mengajakku
berbicara, mengelus tubuh kecilku yang terhalang oleh dinding rahimnya. BAhkan
rasa sakit terhebat yang pernah ia rasa, ia pertaruhkan nyawanya demi
menyelamatkan jiwaku yang masih lemah dan ingin melihat dunia. Ia menangis
bahagia, melihatku keluar dengan tubuh terbasahi oleh darahnya, menggendongku
dengan dekapan hangat, dan kurasakan dahagku tlah terbasuh air susunya.
Sa’at aku bayi, senyum mungilku
menyapa dirinya, tanpa rasa dosa, kupukul – pukul wajah ayunya. Namun tak
sedikitpun tampak terlintas rasa amarah dalam benaknya. Dengan senyum, gigi
putihnya menggigiti jari – jariku yang masih lemah.
Ketika aku berada di taman kanak –
kanak. Ia terlihat di sana,, duduk di sebelah pintu, dengan setia menungguku,
memperhatikanku yang mungkin masih ingin terus ada di dekatnya, sehingga tak
satupun kata – kata ibu guru kudengarkan dengan baik
Di
bangku SD, Ia sangat bhagia melihatku, bermain, belajar dan mengenal kawan –
kawan. Sa’at pulang aku selalu memeluknya, menantikan belaian lembut tanganya.
Dan kasihnya yang indahkan suasana hariku.
Setiap
sore, aku mulai kesal dengan waktu bosanku bersamanya. Karena amarahnya aku
menagis. Namun tanpa ajaran darinya, aku tak akan dapat berhitung dan membaca,
aku tak akan menjadi seperti sekarang. Dan ia sangat tekun membantuku dalam
segala hal.
Tepat di hari kelulusan SD – ku,
aku melihatnya berurai air mata. Namun terselip sesungging senyum yang
membuatku lega. Aku bahagia melihatnya bangga atas prestasiku dalam meraih
peringkat pertama. Tapi tanpamu, aku tak akan bisa “Ibu”
Sa’at itu, aku tlah mengenakan
putih biru sebagai seragam baruku. Dan aku mulai mengenal cinta monyet dan
perasa’an malu pada lelaki. Aku mulai melalaikan kewajibanku sebagai seorang
pelajar. Memikirkan hal yang tidak perlu. Membayangkan bayang semu yang seama
sekali tak pernah menganggapku berarti. Hingga aku kehilangan peringkat
pertamaku yang slama ini, kupertahankan dengan keras. Aku menangis tersedu –
sedu di hadapanya meminta ma’af. Namun ia tetap dapat mengerti, betapa lemahnya
aku sa’at itu, dan ia masih dapat menunjukkan senyum tulus itu dari wajahnya. Satu
yang slalu kuingat, sgala nasehatnya adalah pencerahan bagiku.
Di suatu malam, aku terjaga di
depan pintu. Memandangnya yang lambat laun menghilang. Menyusuri jalanan gelap
yang sunyi, demi mencari nafkah tuk sesuap nasi. Tapi ia tak pernah lupa tuk melambaikan
tanganya padaku dan senyuman yang slalu ia berikan sebelum ia akan pergi. Sa’at
itu aku benar – benar bertekad dalam hatiku bahwa apa pun yang terjadi aku akan
membuatnya bahagia.
Kali
ini aku senang, melihat seragam putih biruku tlah berganti menjadi putih abu –
abu. Ia pun turut senag memandangku tumbuh beranjak dewasa. Namun kala itu aku
terserang penyakit. Segala obat tlah ia cari untukku. Bahkan malam demi
malampun, ia lewati untuk menemaniku. Apapun akan ia lakukan demi membuatku
sehat lagi.
Dalam
benakku aku mulai rasakan sakit. Hatiku seakan tersayat, ketika ku kembali
mengingat, sa’at ia tak enak badan. Aku
tak terlalu perduli memperhatikanya seperti ini. Aku yang kini meraa dewasa
sangat egois, dan hanya memikirkan diri sendiri.
Terkadang
berbagai masalah menerpa masa remajaku. Perlahan – lahan menerjang sisi
kesabaranku. Hingga suatu sa’at. Aku mulai mengabaikan nasehatnya. Membantah
sgala niat baiknya. Tak jarang perbeda’an pendapat diantara aku dan ia membuat
ia membuat kami bertengkar hebat.
Dan
tiba – tiba aku kembali lagi mengenal apa yang disebut dengan cinta ? Cinta
yang menurutku lebih hebat dari sebelumnya. Sampai – sampai aku tak menyadari
bahwa aku lebih menyukai sang kasih daripadanya. Ketika hal itu semakin
membuatku terlena, aku mungkin tak ingat lagi betapa besar cinta dan kasih yang
tlah ia berikan padaku dari dulu hingga sekarang, bahkan mungkin sampai nanti
di ujung waktu yang tak dapat kuungkapkan. Pada akhirnya cinta yang begitu aku
banggakan, yang begitu aku puja, yang begitu aku percaya, akan janji hidup
menuju kebahagia’an yang lebih berwarna, kini hancur dan tak dapat dilihat
lagi, karena ia dengan tega menyakiti aku yang sangat memberi harapan besar
padanya. Baru setelah itu, aku dapat menyadari, betapa kasihmu “ibu” tak kan
mudah menyakiti, tak kan mudah menodai, meskipun dengan kasarnya aku
mengkhianti.
Air mataku kini tiada terbendung
lagi. Hatiku tak dapat menahan rasa sesal ini. Jiwaku merindukan kasih
sayangnya. Semua perilaku cinta yang slama ini tak pernah ia lakukan karena
rasa munafikku yang berlebihan di sa’at pertengkaranku denganya.
Ibu, mengapa dengan mudahnya aku
melupakan janji suciku untuk membahagiakanmu ? mengapa dengan teganya aku
mengubah senyum tulusmu dengan air mata karena perbuatanku ? Dimana bakti
seorang anak pada ibunya yang telah mengasuhnya sejak bayi, merawatnya dengan
cinta membesarkanya dengan kasih, dan
menjaganya penuh perlindungan. Akankah jiwa labilku ini takkan pernah bisa
membuatmu bahagia.
Aku berlari dan tak memperdulikan catatan
kecilku lagi. Aku berlutut dan mencium kakikinya dan berusaha meraih tanganya.
Kurasakan tetes demi tetes air matanya membasahi dahiku, perlahan – lahan
kuangkat wajahku melihat parasnya yang beruruai mata. Cepat – cepat kuhapus
dengan kedua tanganku yang lemah.
“Jangan
menangis lagi ibu, ma’afkan ibu. Aku tak akn mengulanginya lagi.”
Ia
memelukku dengan erat. Dan aku tak ingin melepaskan dekapan hangatnya ini
seperti aku tak akan pernah melepas kebahagia’anya untuk pergi lagi. Aku
berjanji ibu, aku pasti akan membuatmu bahagia, walaupun itu tiadalah cukup
untuk membalas segala jasa – jasamu dalam hidupku.
0 komentar:
Posting Komentar