Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Minggu, 13 Januari 2013

JANJIKU IBU

Di hari itu ia amat senang, melihatku tumbuh di dalam rahimnya. Tak sedikitpun keluh bergema dalam hatinya, merasakn mual dan rasa tak enak lainya yang kubuat. Ia tetap mengajakku berbicara, mengelus tubuh kecilku yang terhalang oleh dinding rahimnya. BAhkan rasa sakit terhebat yang pernah ia rasa, ia pertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan jiwaku yang masih lemah dan ingin melihat dunia. Ia menangis bahagia, melihatku keluar dengan tubuh terbasahi oleh darahnya, menggendongku dengan dekapan hangat, dan kurasakan dahagku tlah terbasuh air susunya.
Sa’at aku bayi, senyum mungilku menyapa dirinya, tanpa rasa dosa, kupukul – pukul wajah ayunya. Namun tak sedikitpun tampak terlintas rasa amarah dalam benaknya. Dengan senyum, gigi putihnya menggigiti jari – jariku yang masih lemah.
Ketika aku berada di taman kanak – kanak. Ia terlihat di sana,, duduk di sebelah pintu, dengan setia menungguku, memperhatikanku yang mungkin masih ingin terus ada di dekatnya, sehingga tak satupun kata – kata ibu guru kudengarkan dengan baik
                Di bangku SD, Ia sangat bhagia melihatku, bermain, belajar dan mengenal kawan – kawan. Sa’at pulang aku selalu memeluknya, menantikan belaian lembut tanganya. Dan kasihnya yang indahkan suasana hariku.
                Setiap sore, aku mulai kesal dengan waktu bosanku bersamanya. Karena amarahnya aku menagis. Namun tanpa ajaran darinya, aku tak akan dapat berhitung dan membaca, aku tak akan menjadi seperti sekarang. Dan ia sangat tekun membantuku dalam segala hal.
Tepat di hari kelulusan SD – ku, aku melihatnya berurai air mata. Namun terselip sesungging senyum yang membuatku lega. Aku bahagia melihatnya bangga atas prestasiku dalam meraih peringkat pertama. Tapi tanpamu, aku tak akan bisa “Ibu”
Sa’at itu, aku tlah mengenakan putih biru sebagai seragam baruku. Dan aku mulai mengenal cinta monyet dan perasa’an malu pada lelaki. Aku mulai melalaikan kewajibanku sebagai seorang pelajar. Memikirkan hal yang tidak perlu. Membayangkan bayang semu yang seama sekali tak pernah menganggapku berarti. Hingga aku kehilangan peringkat pertamaku yang slama ini, kupertahankan dengan keras. Aku menangis tersedu – sedu di hadapanya meminta ma’af. Namun ia tetap dapat mengerti, betapa lemahnya aku sa’at itu, dan ia masih dapat menunjukkan senyum tulus itu dari wajahnya. Satu yang slalu kuingat, sgala nasehatnya adalah pencerahan bagiku.
Di suatu malam, aku terjaga di depan pintu. Memandangnya yang lambat laun menghilang. Menyusuri jalanan gelap yang sunyi, demi mencari nafkah tuk sesuap nasi. Tapi ia tak pernah lupa tuk melambaikan tanganya padaku dan senyuman yang slalu ia berikan sebelum ia akan pergi. Sa’at itu aku benar – benar bertekad dalam hatiku bahwa apa pun yang terjadi aku akan membuatnya bahagia.
                Kali ini aku senang, melihat seragam putih biruku tlah berganti menjadi putih abu – abu. Ia pun turut senag memandangku tumbuh beranjak dewasa. Namun kala itu aku terserang penyakit. Segala obat tlah ia cari untukku. Bahkan malam demi malampun, ia lewati untuk menemaniku. Apapun akan ia lakukan demi membuatku sehat lagi.
                Dalam benakku aku mulai rasakan sakit. Hatiku seakan tersayat, ketika ku kembali mengingat, sa’at  ia tak enak badan. Aku tak terlalu perduli memperhatikanya seperti ini. Aku yang kini meraa dewasa sangat egois, dan hanya memikirkan diri sendiri.
                Terkadang berbagai masalah menerpa masa remajaku. Perlahan – lahan menerjang sisi kesabaranku. Hingga suatu sa’at. Aku mulai mengabaikan nasehatnya. Membantah sgala niat baiknya. Tak jarang perbeda’an pendapat diantara aku dan ia membuat ia membuat kami bertengkar hebat.
                Dan tiba – tiba aku kembali lagi mengenal apa yang disebut dengan cinta ? Cinta yang menurutku lebih hebat dari sebelumnya. Sampai – sampai aku tak menyadari bahwa aku lebih menyukai sang kasih daripadanya. Ketika hal itu semakin membuatku terlena, aku mungkin tak ingat lagi betapa besar cinta dan kasih yang tlah ia berikan padaku dari dulu hingga sekarang, bahkan mungkin sampai nanti di ujung waktu yang tak dapat kuungkapkan. Pada akhirnya cinta yang begitu aku banggakan, yang begitu aku puja, yang begitu aku percaya, akan janji hidup menuju kebahagia’an yang lebih berwarna, kini hancur dan tak dapat dilihat lagi, karena ia dengan tega menyakiti aku yang sangat memberi harapan besar padanya. Baru setelah itu, aku dapat menyadari, betapa kasihmu “ibu” tak kan mudah menyakiti, tak kan mudah menodai, meskipun dengan kasarnya aku mengkhianti.
Air mataku kini tiada terbendung lagi. Hatiku tak dapat menahan rasa sesal ini. Jiwaku merindukan kasih sayangnya. Semua perilaku cinta yang slama ini tak pernah ia lakukan karena rasa munafikku yang berlebihan di sa’at pertengkaranku denganya.
Ibu, mengapa dengan mudahnya aku melupakan janji suciku untuk membahagiakanmu ? mengapa dengan teganya aku mengubah senyum tulusmu dengan air mata karena perbuatanku ? Dimana bakti seorang anak pada ibunya yang telah mengasuhnya sejak bayi, merawatnya dengan cinta  membesarkanya dengan kasih, dan menjaganya penuh perlindungan. Akankah jiwa labilku ini takkan pernah bisa membuatmu bahagia.
Aku berlari dan tak memperdulikan catatan kecilku lagi. Aku berlutut dan mencium kakikinya dan berusaha meraih tanganya. Kurasakan tetes demi tetes air matanya membasahi dahiku, perlahan – lahan kuangkat wajahku melihat parasnya yang beruruai mata. Cepat – cepat kuhapus dengan kedua tanganku yang lemah.
                “Jangan menangis lagi ibu, ma’afkan ibu. Aku tak akn mengulanginya lagi.”
                Ia memelukku dengan erat. Dan aku tak ingin melepaskan dekapan hangatnya ini seperti aku tak akan pernah melepas kebahagia’anya untuk pergi lagi. Aku berjanji ibu, aku pasti akan membuatmu bahagia, walaupun itu tiadalah cukup untuk membalas segala jasa – jasamu dalam hidupku.

PANGERAN ITU ADALAH GURUKU

Siang hari yang panas membuatku semakin jauh melangkah, terik matahari yang membakar tubuh, memenuhi dahiku yang bersimbah peluh, namun belum juga kutemui angkutan umum yang kunanti.
            Jalanan raya yang semakin ramai, membuatku gerah, berkali-kali kuteguk secangkkir es jeruk yang kubeli dari pedagang tepi jalan. Kuhela nafas panjang, segera kuberdiri dan melanjutkan lagi penantianku.
            Kulihat seorang laki-laki tinggi di sampingku, tampaknya ia akan menyebrangi jalan yang kian padat. Sa’at ia mula bersiap mobil berwarna hitam legam muncul tiba-tiba, melaju dengan kecepatan tinggi, seketika wajahnya yang panic membuat tubuhnya kaku dan hanya berdiam terpaku di tengah jalan, aku berteriak histeris dan segera meraih tanganya, kuseret ia hingga tak sengaja kubuatnya jatuh tersungkur. Beruntunglah aku dan ia hanya lecet-lecet saja.
            “Ma’af mbak, ma’af” Katanya seraya menjabat tanganku untuk membantuku berdiri.
            “Aduh mas, ati-ati kalau nyebrang, iku mau sampeyan hamper ae keserempet mobil, mikir opo to mas?”
            Ia hanya tersenyum dan terlihat bingung mendengar gaya bahasaku.
            “Ma’af mbak, saya g’ ngerti bahasa jawa, saya ini dari Jakarta, saya juga baru saja sampai”
            Aku tersenyum mendengar penuturanya, pantaslah ia tak mengerti apa yang ku katakan.
            “Owh! Jadi begitu mas, sekarang tujuan mas mau kemna?” Tanyaku padanya yang tampaknya hanya seorang diri di sini. Apalagi ia baru pertama kali di Surabaya, mana ia hafal jalan-jalan di kota besar ini? Jangan – jangan ia tersesat dan tak tau tujuan diman aia akan singgah.
            “Sebenarnya saya mau cari kos-kosan. Mbak mau g’ bantu saya cari. Tolong mbak, saya g’ tau jalan daerah-daerah sini, saya Cuma sendiri”
            Wajahnya tampak begitu putus asa ternyata benar semua duga’anku. Akhirnya aku pun membantu pria yang bernama Dika itu, mencari tempat tinggal sementara, untunglah, tak begitu lama, kami menemukan tempat yang cocok.
            Suasana taman sekolah yang damai, memaksaku uutuk duduk lebih lama di sana. Dalam sunyi aku bisa lebih tenang, entah kenapa hari ini aku ingin sendiri. Tiba-tiba tampak seorang laki-laki dari kejauhan, langkahnya yang begitu cepat bagai memburu waktu yang beradu dengan kebutuhanya sekarang. Tunggu, aku mengenal sosok itu. Dan benar, ketika melihatku ia mencoba menyapa walau hanya lewat sesungging senyumnya.
            “ Mas, yang kemarin dari Jakrta itu ya?”
            “ Iya mbak, ternyata mbak masih ingat saya”
“Iya, iya yang namanya sapa y?” Aku mulai mengingat-ingat lagi kejadian kemarin sa’at aku bertemu denganya.
“Dika !” Jawabku spontan.
“ Iya, skali lagi terima kasih mbak atas bantuanya.”
“Sama-sama eh kamu kok bisa  ada di sini, kamu mau daftar jadi siswa baru di sini?”
Ia diam sejenak sebelum menjawab pertanya’an dariku.
“Iya mbak, saya mau sekolah di sini, kebetulan ya kita bias satu sekolah.” Ujarnya masih dengan senyuman.
“Oh ya! Kamu tadi mau ke ruang guru ya.” Jawabku kemudian mengingatkan akan tujuan kedatanganya semula.
“iya ya, saya hamper lupa mbak, ya sudah saya pergi dulu mbak ya.” Ia tertawa dan segera berlalu meninggalkanku. Wajahnya memang tampak seperti anak kota yang sombong. Tapi sikapnya begitu sopan. Aku mulai berhenti melihatnya yang lama-kelama’an hilang di balik pintu.
“Ramainya kelas membuat aku semakin jenuh, hujan deras di luar masih belum juga reda. Tak terasa teman-temanku mulai terdiam sa;at terdengar seseorang mengetuk pintu kelas dan masuk sambil tersenyum ramah.
            Aku mulai menyadari, orang itu adalah Dika, sesa’at aku berfikir, bahwa ia akan menjadi teman sekelasku, namun aku harus menghapus duga’anku nitu sa’at ia membuka suara.
            “ Selamat siang” Sapanya kemudian pada kami.
“Selamat siang”
“Adik-adik semua, perkenalkan nama saya Dika Nugroho, saya adalah guru pengganti dari Pak Radityang mengajar ekskul music.”
Apa?!!!!! Aku begitu terkejut mendengarnya. Kusadari ia sudah berkata bohong. Aku tak menyangka seorang Dika yang tampak muda dan hanya beberapa tahun lebih tua darinya akan menjadi bapak gurunya. Kusesali perilaku tak sopanku sa’at berbicanya padanya. Oh Tuhan…………. Aku sungguh tak tau bahwa ia akan menjadi orang yang seharusnya kuhormati.
Akhirnya tiba pula bel pulang sekolah yang sangat kunanti-nanti
“Wulan!” Kudengar seseorang memanggil namaku dari belakang. Aku segera menoleh dan amat terkejut melihat siapa yang tengah menyapaku sa’at itu. Tak kuharapkan aku akan bertemu denganya Pak Dika. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku melihat ia semakin dkat melangkahkan kakinya ke arahku. Antara malu dan takut bercampur menjadi sesuatu perasa’an tidak menentu
“ Kenapa Wulan ? Ma’afkan saya ya, sudah sudah bohong sama kamu.”
“Aduh pak, saya byang harusnya minta ma’af, masa’ bapak sih yang jadinya sopan sama saya. Saya beneran takut loh pak, sudah g’ sopan sama bapak”
“g’ pa- pa lah Wulan, aku dan kamu ini teman, jadi bukan hanya sekedar murid dan guru, lagipula jangan panggil bapak dong, umur saya kan baru 20.” ucapnya sambil tertawa lepas.
Aku menghela nafas lega mendengar jawabanya, tak kusangka ia orang yang pandai berkawan, mengingat aku adalah orang yang tidak mudah berteman baik dengan seorang yang baru ku kenal.
Hari demi hari kulalui, kelas ekskul music bertambah ceria semenjak datangnya Pak Dika di tengah-tengah kami. Dia mengajari kami  berbagi hal, karena usianya yang masih muda ia dengan mudah melakukan pendekatan pada murid didiknya. Paling tidak pengetahuan kami akan music semakin bertambah karena ia selalu membantu kami dalam melengkapi segala kekurangan yang ada. Dia sudah menjadi orang terdekatku. Karena kami sudah seperti sahabat karib. Ia orang yang paling mengertiku sa’at aku ingin berbagi.
“Wulan, kamu mau.” Ujarnya tiba-tiba duduk di sampingku sambil menwarkan secangkir susu coklat hangat padaku. Aku mengangguk dan segera mengambil coklat hangat itu dari tanganya.
“Kamu pernah meraakan cinta, Wulan!” Aku terheran-heran mendengar pertanya’an darinya, hal itu membuatku tertawa keras.
“Kenapa kamu malah tertawa?” Ujarnya lebih heran lagi melihat responku
“Aduh pak, saya itu sudah kapok sama yang namanya cinta. Cinta itu sama sekali g’ penting dalam kehidupan saya sekarang, virus penyakit hati yang harus dibasmi” Ia tersenyum melihatku yang begitu antusias menghina cinta.
“Saya mau cerita sama bapak, tapi bapak jangan ketawa ya.” Aku mencoba memastikan bahwa ia takkan mengejekku setelah aku berbagi kisah denganya. Ia mengangguk mencoba meyakinkanku.
“Mulai dari cinta pertama hingga cinta ke 5 yang saya alami, semua rasa itu tak pernah ada satupun yang terbalas.”
“ Waduh……………! Itu cinta apa minum obat, yang benar itu 3 kali sehari.” Jawabnya penuh gelak tawa
“Ah! Beneran kan bapak akhirnya jadi bercanda, udah dong pak jangan godain cerita saya, saya serius nih.” Ucapku kesal
“Oke, oke, jangan ngambek gitu lah, senyum” Ia tersenyum lebar memaksaku untuk memaklumi sikapnya.
Aku terdiam kuhela nafas panjang, menghilangkan kepenatan di sekujur tubuhku. Semilir angin masih berhembus tenang. Kudekap erat kedua lututku seraya bersandar, kuinginkan kenyamanan yang membuat hatiku tentram.
“Bapak, g’ akan tau bagaimana rasanya cinta bertepuk sebelah tangan, yang selalu saya alami setiap saya jatuh cinta, hal itu sifatnya sakit, bodoh dan sia-sia, mengharap kebahagia’an pada sesuatu yang sama sekali tak perduli.”
Aku diam sejenak, memandang hamparan rumput hijau di hadapanku, langit seakan tau isi hatiku, mendung kelabu mulai menutupi kecerahan senja sa’at itu. Aku melanjutkan kata-kataku.
“ Bodohnya, cinta sia-sia itu mengganggu konsentrasi belajar saya pak. Dan saya janji saya g’ akan menyia-nyiakan waktu ini pak, kurang 1 tahun lagi saya akan lulus.”
Kutatap lagi matanya, pandanganya yang teduh mengisyaratkanku untuk melanjutkan komitmen yang aku buat.
“Saya harus lulus dengan nilai terbaik dan dapat pekerja’an yang mapan pak. Saya tak tega melihat orang tua yang selalu kerja banting tulang demi sekolah, demi hidup dan sgala kebutuhan saya, sedangkan saya tak sedikitpun dapat memberi kebahagi’an pada mereka. Meski mereka tak pernah mengharap balas dari sya, namun tetap saja saya……………” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Perlahan ia menepuk lembut pundakku.
“Saya tau, orang tuamu, pasti sudah bangga sma kamu, Kalau mereka tahu kanu punya pemikiran yang demikian.”
Tersadar ku akan kenangan-kenangan masa silam, masa-masa suram yang tak seharusnya kuingat.lagi. Aku tak ingin lagi menjadi Wulan yang dulu, yang egois, yang ingin menang sendiri, yang pemalu, yang tak tau diri. Aku yakin aku bisa mengubah itu semua.
Aku yakin sinar takdir itu akan dating, jeratan beban itu akan musnah, dan malam kelam akan berganti menjadi hari yang cerah. Masih banyak orang di luar sana dengan nasib pedih yang terkadang membuatnya bagai tak berarti untuk hidup lebih lama lagi. Jadi untuk apa kusesali hidup anugrah Tuhan Yang Maha Pengasih ini.
“Wulan, kamu melamun?”
Lamunanku buyar seketika, sa’at Pak Dika memecah kesunyian di senja hari itu.
“Tapi salahkahkah pak jika saya memiliki sedikit saja harapan bahwa seorang pangeran akan dating dalam hidup saya, sedikit saja.”
Ia terdiam sejenak dan kembali metapku seraya berkata.
“Bagaimana jika pangeran itu sekarang ada di sampingmu?”
“Maksudnya?” Tanyaku heran.
Dalam sekejap ia memalingkan pandanganya dariku. Ia menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertawa geli.
“Aku bercanda lagi, kamu kena 1-0”
Aku tau betapa ia sangat member perhatian lebih padaku. Tapi aku lebih tau diri lagi untuk tidak mengharapkan hubungan special darinya. Aku adalah murid dan ia seorang guru, meski umurku tak jauh beda denganya, tetap sja aku hrus menghargai posisi itu.
Waktu berlalu begitu cepat, bagai debu yang tertiup angin tak berbekas, namun itu tak seperti perjalan hidup yang kualami seperti biasa, sgala kenangan yang kulalui amat berarti. Tak seperti pengalaman jenuh yang membuat hidupku bosan. Pak Dika tlah menorah secercah bahagia dan warna yang berbeda dalam setiap langkahku.
Akhirnya tiba pula hari yang slama ini aku tunggu dan mungkin bukan hanya aku saja yang telah menanti hari ini. Semua kawan-kawanku juga amat mendamba datangnya hari kelulusan ini.
“Baiklah akan kami sampaikan pada hari wisuda para siswa-siswi SMKN 1, bahwa pada kelulusan tahun ini nilai terbaik jatuh pada Anindya Wulan”
“Wulan,wulan itu kamu loh, kamu yg jadi siswa terbaik tahun ini.” Tiba-tiba Sari berteriak di hadapanku yang hanya terpaku. Aku sangat tak percaya pada apa yang kudengar sa’at ini. Segar kutatap wajah ibuku, dari sudut matanya kulihat tangis air mata bahagia. Ia bisikkan lembut kata-kata yang buatku benar-benar bahagia, melihat sedikit kebangga’an itu tercipta di hati mulia ibuku.
“Silahkan agar Anindya Wulan beserta wali murid, untuk naik ke atas panggung, memberikan sambutan.” Kudengar tepuk tangan riuh langkahku dan ibu menuju podium. Tampak dari jauh kulihat sosok wajah yang selalu memotivasiku hingga kini, pak Dika mengacungkan jempolnya padaku. Seperti mengisyratkanku pada sebuah kalimat yanga selalu ia katakana padaku.
“Lihat kamu biasa buktikan kalau kamu bias, jika kamu mau berusaha”
Semilir angin yang lembut membuatku hatiku yang bahagia ini menjadi semakin damai. Suasana ini mengingatkanku pada kenangan yang kulalui a’at masih bersamanya”
“Pak Dika” Aku memanggilnya perlahan, hampir suaraku tak terdengar tenggelam oleh kuatnya hembusan angin.
“Ada apa memanggilku?” Sebuah suara yang nampak tak asing lagi bagiku, muncul bersama kedatangan Pak Dika yg tiba-tiba saja duduk bersandar tepat di sampingku berdiri.
“Pak Dika dengar” Tentu saja aku malu mengetahui ia berada di dekatku sejak tadi.
“Dengarlah, kamu kangen sama saya,ya” Ujarnya tertawa lagi
“Tuh kan bapak bercanda lagi.” Aku mengalihkan pandangan dengan kesal.
“Selamat ya, kamu yang terbaik tahun ini” Ia kembali melakukan itu mengangkat jempolnya untukku
“Siiip” Aku melakukan hal yang sama denganya
“Emm, tapi aku ingin mengucapkan terima kasih sama bapak, Pak Dika adalah motivator terbaik dalam hiduo saya.”
“Oke, tapi ada satu yang yang saya tidak suka dari kamu?” Ia tampak serius mengerutkan dahi.
“Haaaaah? Apa itu pak?” Aku berteriak heran
“Umur saya masih 21, saya bukan gurumu lagi, dan kamu masih memanggil saya bapak, bukanya usia kita hanya beda 3 tahun ya?” Ia berkata panjang lebar membuatku menahan tawa.
“ Hahahahaha, oke pak Dika, oh emmm maksud saya Dika, meski sampai kapanpun anda akan tetap menjadi guru terbaik saya.”
“Jika saya ingin beralih menjadi orang yang paling menyayangimu, gimana?”
“Maksud bapak, Pak Dika mau bercanda lagi, aku…………………..”
Aku tak melanjutkan ucapanku sa’at satu jari lembutnya mengisyratkanku untuk diam, pandangan matanya seakan dalam menatapku jauh, kurasakan genggaman hangat tanganya meraih jemariku yang mulai gelisah. Ada apa dengan orang ini, pikirku?
“Aku menunngu hari yang tepat untuk bilang, bahwa dari dulu aku mencintai kamu Wulan. Sejak pertama kita bertemu, dan aku benar-benar tak berharap kita akan berada pada posisi ini.”
Aku tak berani beradu pandang denganya lagi, kucegah ia memegang tanganku lebih lama. Tapia pa yang kurasa, membuat aku bingung, jantungku berdegup kencang mengetahui ia menyukaiku. Dari relung hati terdalam tersimpan satu rasa yang ingin menerimanya.
“Jadi……………………..” Ia kembali memaksaku untuk menjawab.
Aku tersenyum dan mengangguk seraya membalas pandanganya, dari sudut wajahnya kulihat secercah kebahagia’an.Namun ada sesuatu hal yang membuatku kembali terdiam.
“Ada apa lagi Wulan.” Tanyanya melihatku tengah memikirkan sesuatu.
“Bukanya Dika akan kembli ke Jakarta.” Ucapku kecewa.
Ia malah tersenyum mendengar perkata’anku.
“Koq kamu senyum-senyum sih, kamu mau bercanda lagi y?” Kali ini aku benar-benar kesal padanya.
“Tunggu, dengar perkata’anku dulu y? Kamu tau kan bahwa siswa  terbaik tahun ini akan dapat beasiswa kuliah di Jakarta.”
“apa?!!!!!! Beneran pak” Lagi-lagi kenyata’an bahagia ini membuatku tak percaya.
“Tuh kan pak lagi.” Ia bahagia memandangku.
Aku tak memperdulikan ucapanya lagi. Tanpa sadar aku memeluknya dengan erat. Karena aku begitu bahagia sekarang. Tiba-tiba…………………………………………
“Cie………………………….cie…………………Wulan lagi ngapain nih” Suara Sari membuat pelukanku lepas dari tubuhnya.
“Ma’af pak saya seneng banget” Ujarku tersipu malu
“G’ po po kok, wong aku tresno banget karo Wulan,hehehehe” Jawabnya seraya menggenggam erat tanganku.
“Wah Pak Dika udah bias bahasa Jawa.” Kata Rina spontan, membuat kami tak dapat menahan gelak tawa.
Aku bahagoa melihatnya begitu saja hadir, membawa sejuta warna yang berbeda dalam hidupku, mengubah persepsiku bahwa tiada hal yang mustahil, karena kekuatan hati yang berkemauan akan mengubah sgala hal yang tak mungkin. Soal cinta, cinta itu bukan virus. Dia hanya rasa yang seharusnya jatuh pada orang yang tepat. Dan akan hadir sa’at kau tidak menduganya. Cinta yang benar adalah cinta yang membuatmu lebih baik bukan cinta yang membuatmu terjerumus dalam hal yang salah. Karena ia akan slalu tau dan menunjukkanmu pada kehidupan yang lebih cerah. Percaya atau tidak, aku tlah menemukan pangeran impianku dalam diri Pak Dika.

HAPPY SWEET 17th


Aku  masih  meraba  lembaran-lembaran  sunyi,  dalam  memori  hati  yang  tak  pasti.  Kuhela  nafas  panjang  sejenak,  ingin  kuterka  suatu  masa,  masa  dimana  bisa  kutemukan  bahagia.
            Tiba-tiba  sebuah  suara  membuyarkan  lamunanku
            “Ras,  kamu  dipanggil  tuh,  ma  Bu  Aini”
            “ Emangnya  ada  apa Ri  ?”
            “Aku  juga  g’  tau”  jawab  Nuri  sambil  kemudian  berlalu  di  hadapanku.
            ***
            “Raf!  Lesu  banget  mukanya”  Ujar  Henry  melihat  Rafi  dengan  wajah  murung  melangkah  menuju  bangkunya.
            “Alah!  Rafi  itu  habis  patah  hati  diputusin  ama  Cherly.”  Jawab  Luna  tiba-tiba  membuat  Rafi  membelalakkan  matanya.
            “Wah!  Kurang  asem  kamu  lun.  Ngomong  asal  aja.”  Ujarnya  tersenyum  sinis
            “Udahlah  Raf,  ngapain  juga  dipikirin,  lebih  baik  juga  kamu  sama  teman  aku  aja,  temen  aku  ada  yang  suka  lo  sama  kamu.”  Sela  Dhysa  diantara  perdebatan  mereka.
            “Siapa  Dhys,  Rasti  maksud  kamu.”  Lagi-lagi  Luna  ikut  bicara.
            “Eh  sembarangan  kamu  Lun,  Rasti  kan  sudah  punya  pacar”  Jawab  Dhysa  mencoba  menutupi.  Dia  bahkan  tak  mengira  Luna  akan  dengan  semudah  itu  menebaknya.
            ”Yang  benar  Dhys,  masa’  sih  Rasti  suka  sama  orang  kayak  aku.”  Ujar Rafi  tak  percaya.
            “Aduh  kalian  koq  jadi  salah  paham  sih,  pokoknya  bukan  Rasti!”  Teriak  Dhysa  khawatir.
            ***
            Ah!  Berat  rasanya  langkahku  untuk  masuk  menuju  kelas  ini,  kelas dimana  aku  harus  bertemu  orang  yang  aku  benci.
            “Kenapa  Bu  Aini  harus  nyuruh  aku  untuk  masuk  kelas  ini  sih”  Gerutuku  dalam  hati.  Jantungku  berdetak  tak  karuan  melihatku  semakin  dekat  dengan  pintu  kelas.
            “Assalamualikum…………………”  Ucapku  pelan.
            Semua  anak  terdiam  mendengar  suraku,  dengan  senyum  ramah  aku  berjalan  masuk  meminta  izin.
            “Wah!  Panjang  umur  nih  cewek.”  Bisik  Rafi  sambil  tersenyum  lebar.
            “Sebelumnya  terima  kasih  atas  perhatianya,  di  sini  saya  akan  menyampaikan  pesan  Bu  Aini,  akan  diadakan  pelajaran  tambahan  untuk  bidang study,  Kimia,  Matematika  dan  Fisika,  jika  ada  yang  berminat  untuk  ikut, bisa  daftar  sekarang  pada  saya.”  Jelasku  panjang  lebar.
            Tiba-tiba  di  seberang  sana  kulihat  anak  laki-laki  itu,  mengangkat  tangan  seraya  berkata
            “Saya ikut”  Tegasnya lantang.
            “Ah!  Sok  banget  kamu  Raf,  tumben  biasanya  paling  benci  ama  tiga  pelajaran  itu.”  Jawab Luna ketus.
            “Yeee……………..!  Biarin  aja”  Ledeknya,  melihatku  dari  kejauhan.
            Aku  hanya  menatapnya  tajam.  Di  dalam  hatiku  tersimpan  rasa  tidak suka  yang   kini  meluap-luap.  Perlahan  kuhampiri  ia.
            “Kalau  gitu  namanya  siapa  ?   Tanyaku  berpura-pura  tak  mengenalinya, tanpa  sedikitpun  aku  melihat  wajahnya.
            “Ah!  Masa’  sih  mbak  Rasti  g’  tau  nama  saya.”
            Aku  terkejut  mendengar  ia  menyebut  namaku.  Darimana  ia  tahu.
            “Saya  emang  g’  tau  nama  situ,  cepetan  deh,  kalau  g’  ada  niat  buat ikut  study  ini,  mending  g’  usah  daftar.”  Jawabku  segera  pergi  meninggalkan  tempat  itu.
            “Eh  tunggu.”  Kurasakan  tangan  lembutnya  mencegahku  pergi.
            “ Nama  aku  Rafi,  catat  ya”  Ujarnya  tersenyum  padaku.
            Entah  apa  yang  terjadi,  aku  terpana  memandang  senyuman  itu, senyum  yang  selama  aku  ingin  darinya,  senyum  yang  selama  ini  kunantikan, kini  ia  berikan  padaku.  Namun  segera  kukuasai  diriku.  Memangnya  ia  fikir dapat  dengan  mudah  mempermainkan  isi  hati  seseorang.
            ***
            Dengan  langkah  gontai,  kususuri  jalanan  terjal  berbatu  di  sekelilingku. Kupandangi  birunya  langit  yang  kini  seakan  menatapku  sendu.  Aku  bingung,  mengapa  Rafi,  yang  dulu  sama  sekali  tak  perduli  padanya,  kini  tiba-tiba  tanpa  sebab  bersikap  sok  akrab.
            “Dasar  laki-laki!  Selalu  memandang  dari  fisik.”  Dengan  kesal  kulempar  bongkahan  batu  besar  di  hadapanku  dengan  sekuat  tenaga.
            Rafi,  aku  memang  salah  membencimu,  kau  tak  pernah  sedikiktpun  melakukan  salah.  Namun  rasa  suka  yang  berlebihan  ini  memaksaku  tak  rela ketika  kau  dengan  mudahnya  mengisi  hatimu  dengan  cinta  lain,  dan  tak  sedikitpun  kau  sisakan  ruang  gerakmu,  hanya  untuk  memberikanku  sedikit  saja  rasa  simpati.
            Kini  aku  bahkan  mengutuk  rasa  ini,  sebagai  cinta  yang  salah. Dan  penyesalan  itu  tak  dapat  hilang  begitu  saja  dalam  benakku.
            Namun  tiba-tiba  aku  mulai  menyadari  akan  sesuatu  kenyata’an  yang  membuatku  sakit.  Kau  tak  perduli  padaku  hanya  karena  kau  tak  pernah  tau  akan  perasa’anku  selama  ini.  Untuk  sgala  waktu  yang  berlalu  dan  roda  hidup  yang  terus  berputar,  kau  tak  pernah  menyadari  bahwa  aku  selalu  mengingatmu.
            Jadi,  salahkah  dirimu  padaku?  Bukankah  semua  yang  kulakukan  ini  tiada  berguna.  Kebencianku  padamu  akankah  semua  itu  sia-sia.
            “Kau  tak  salah,  tak  pernah  salah  Raf!”
            Ingatanku  mulai  merayap  pada  dinding – dinding  masa  lalu.  Sa’at  dimana  aku  hanya  menjadi  bahan  lelucon  orang lain.  Sa’at  dimana  aku  tak  pernah  merasa  nyaman  berhubungan  dengan  orang lain  terutama  lelaki.  Sekalipun  itu  hanya  untuk  berbicara.  Dan  aku  tlah  memadamkan  api  semangatku  sendiri  untuk  mengejar  mimpi.  Hanya  karena  rasa  tidak  percaya  diri  pada  tubuhku  yang  melebihi  berat  normal  ini.  Andai  mereka  tau  ?  Mereka  kira  aku  senang  dengan  ini  ?  Mereka  fikir  aku  akan  tertawa  mendengar  canda’an  mereka  yang  menusuk  perlahan  hatiku.  Aku  bukanlah  orang  yang  mudah  menerima  hina’an.  Bahkan  karena  hal  ini  pun,  semua  teman  laki-lakiku  terlihat  enggan  untuk  tertarik  padaku.  Terlalu  sering  kualami  cinta  bertepuk  sebelah  tangan.  Dan  mereka  semua  memalingkan  wajah  tanpa  senyum  sedikitpun.
            Hingga  aku  mulai  melakukan  perubahan  keras  pada  pola  hidupku.  Awalnya  memang  berat,  namun  tak  kan  kubiarkan  putus  asa,  menggelayuti  sisi  pertahanan  lemahku.  Aku  tak  boleh  gagal  untuk  yang  beribu – ribu  kalinya.
            Dan  sekarang  di  sa’at  aku  telah  memiliki  tubuh  yang  menarik  dan  wajah  cantik  sama  seperti  kawan – kawan  sebayaku,  semua  pria  seakan  berlomba – lomba  menarik  perhatianku.  Teman  perempuanku,  mereka  sama  saja,  tampak  lebih  senang  bergaul  denganku.  Tak  kudengar  lagi  kata – kata  yang  menyakitkan  hati  atau  apapun  yang  membuat  telingaku  sakit.  Namun  tetap  saja  dulu  mereka  memandangku  lemah  dan  menilai  aku  hanya  dari  segi  fisik  semata.  Meninggalkan  aku  sendiri  dalam  sepi  tanpa  jejak.
            Dari  hari  perubahan  hidupku,  aku  mulai  meningkatkan  prestasiku,  tiada  hari  tanpa  belajar  dan  tiada  waktu  tanpa  menjaga  berat  badan  normalku.  Semua  bidang  dengan  mudah  kukuasai.  Tiada  lagi  malu,  yang  membuatku  berjalan  mundur.  Karena  aku  berjanji,  kekuatan  ini  akan  terus  mendorongku  maju,  hingga  aku  berada  pada  puncak  tertinggi  pencapaian  tujuan  hidupku.
            Kelas  fisika  menjadi  sangat  menyebalkan  sa’at  ku  tau  bahwa  aku  satu  kelompok  dengan  Rafi.  Entah  mengapa  aku  jadi  amat  membencinya  sekarang  ?  ia  bagi  segumpal  awan  hitam  yang  membuat  hari-hariku  mendung  kelabu,  apa  itu  karena  dulu  aku  terlalu  menyukainya  ?
            Anehnya,  setiap  bertemu  denganya,  ia  selalu  menggodaku,  membuatku  jengkel  dan  tak  segan  aku  memukuli  dan  mencubitinya  hingga  ia  mengerang  kesakitan.  Namun  ia  malah  tersenyum  nakal,  membuatku  semakin  muak  melihat  wajahnya.
            Namun  hari  ini,  aku  merasakan  sesuatu  yang  hilang,  bangku  di  samping  Reyhan  sa’at  itu  kosong.  Aku  mulai  ingat  akan  tingkah  Rafi,  yang  mengundang  tawa  sekaligus  kesal.  Di  sa’at – sa’at  seperti  ini,  dari  jauh  ia  melempariku  dengan  gumpalan  kertas,  membuatku  berteriak  memarahinya habis – habisan.  Hariku  menjadi  hampa  karena  ia  tak  ada.  Akankah  aku  akan  menyukaimu  lagi,  Rafi.”  Desahku  pelan.
            ***
            Siang  hari  yang  panas  ini,  memaksaku  untuk  segera  mempercepat  langkah.  Tiba-tiba  langkahku  terhenti,  sa’at  dengan  jelas  aku  melihat  sosok  yang  slama  ini  membuat  ibuku  khawatir,  tengah  tertawa  puas  dengan  kawan-kawanya  di  ujung  jalan  sana.
            Aku  segera  berlari  menghampiri  satu - satunya  kakak  laki-laki  yang  kumiliki.  Dalam  genggamanya  tampak  botol  minuman  keras  yg  sudah  kosong,  ia  sama  sekali  tak  menyadari  keberada’anku  di  sampingnya.
            “Mas  Faris!”  Aku  memegang  tanganya,  agar  ia  mengetahui  keberada’anku.
            “Heh!  Ngapain  lu  ke  sini,  ganggu  gua  aja!”  Tak  sedikitpun  ia  memperdulikanku.
            “Mas,  Ibu’  khawatir  sama  keadaan  mas,  lebih  baik  mas  pulang  ke  rumah  ya?”
            “Ah!  Jangan  ceramahin  gua  anak  kecil  !”  Dalam  keada’an  mabuk  satu  tonjokan  keras  mendarat  di  pipiku,  hamper  saja  botol  minuman  itu  melayang  pula  melukai  kepalaku.  Namun  ada  yang  mencegahnya.
            “Mas,  jangan  kasar  dong!  Sama  adik  sendiri,  kakak  macam  apa  sih!” Orang  itu  tanpa  basa-basi  langsung  menghajar  mas  Faris .  Mata  buramku  masih  dapat  mengenali  wajah  penolongku.
            “Rafi!”  Aku  berteriak  histeris.
            “Heh!  Apa’an  lu  main  hajar – hajar  aja  !”  Gerombolan  anak – anak  nakal  itu  mulai  berontak  melihat  mas  Faris  babak  belur.  Mereka  semua  tanpa  ampun  mengeroyok  Rafi  yang  terkulai  tak  berdaya.  Badan  lemasku,  berusaha  mencegah  mereka.  Aku  hanya  bisa  meraba  dan  menahan  kaki – kaki  mereka.
            “Saya  mohon,  berhenti!  Berhenti  sekarang  juga!”
            Mereka  akhirnya  berhenti,  sa’at  para  polisi  mulai  berdatangan  menuju  tempat  dimana  kami  berada.  Aku  sangat  gugup,  melihat  tubuh  Rafi  yang  sudah  lemas  bersimbah  darah.
            “Raf,  kamu  g’  pa  pa  kan,  ayo  kita  ke  rumah  sakit.”  Ia  mencoba  bangun  dan  tetap  memperhatikanku  dengan  tatapan  tulusnya  ia  berkata
            “Kamu  g’ pa  pa  kan?”
            “Aku  g’  pa  pa  Raf.”  Jawabku  seraya  menangis  terharu  mendengar  pertanya’an  itu  darinya.  Raf,  begitu  berartikah  keselamatanku  bagimu?
***
            “Raf!  Masih  sakit  nggak”  Tanganku  memegang  wajah  memarnya.
            “Aduh!  Masih  sakit  nih.”  Ia  meringis  kesakitan.
            “Ya!  Ma’af,  ma’af.”  Cepat – cepat  kutarik  tanganku  dari  wajahnya,  namun  tiba – tiba  ia  mencegahnya  dan  memegang  tanganku.  Ia  memandangku  dalam  penuh  makna.  Keada’an  ini  membuat  degup  jantungku  berdetak  kuat  seakan  tak  tertahan.
            “Terima  kasih  ya  Raf!  Kamu  udah  nolongin  aku.”  Kataku  membalas  genggaman  tanganya.
            ***
            Hari  ini  entah  mengapa  aku  amat  bersemangat,  mengikuti  kelas  fisika.  Aku  duduk  di  samping  Rafi  yang  baru saja  menyiapkan  bahan  ajaran.
            “Tumben!  Kayaknya  niat  banget  mau  belajar  fisika!”  Ujarku  menggodanya.
            “Yah!  Mungkin  otakku  yang  konslet  jadi  bener  lagi  habis  kena  pukul.”  Ia  tertawa  geli.
            “Kamu  nyindir  aku  ya!  Mentang – mentang  udah  nolongin.”  Aku  jadi  sebal  sendiri  mendengar  perkata’anya.
            “Aku  cuma  bercanda,  Ras”
            Sejak  sa’at  itu  aku  mulai  bisa  akur  sa’at  bersama  dengan  dirinya.  Kelompokku  yang  hanya  beranggotakan  dua  orang  yaitu  aku  dan  Rafi  berhasil  menjadi  peserta  dalam  olimpiade  fisika  bulan  depan.  Tentu  saja,  aku  tak  akan  menyia-nyiakan  kesempatan  ini.  Aku  dan  Rafi  sama – sama  bekerja keras,  kami  bertekad  akan  menjadi  juara  dalam  lomba  itu.
            Ya  Allah……….  Aku  tak  menyangka  orang  yang  ingin  aku  lupakan,  kini  berlari  di  sampingku  bersama – sama  memegang  harapan  yang  sama  untuk  meraih  mimpi.
            ***
            Papan  putih  di  samping  gedung  UKS  sekolah  SMKN 2,  penuh  sesak  dengan  para  siswa  yang  menunggu  hasil  lomba.  Aku  dan  Rafi  ikut  membaur  bersama  mereka.  Mencari  dengan  teliti  nama  kami  dalam  daftar  nama  yang  tertera.  Aku  sungguh  tak  percaya  melihat  namaku  dan  Rafi  berada  pada  urutan  paling  atas.  Segara  kuseret  tangan  Rafi  dan  kutunjukkan  tulisan  itu  padanya.
            “Kita  menang  Raf,  kita menang. “  Aku  meloncat  girang  dan  tanpa  sadar  memeluk  tubuhnya  yang  hanya  terdiam.  Namun  aku  segera  terjaga  dan  melepaskan  tubuhnya  begitu  saja,  hingga  ia  terjatuh.
            “Aduh ,  sakit  nih  Ras!”  Ia  terduduk  dan  berusaha  bangkit.
            “Ma’af,  ma’af  Raf”  kuulurkan  tanganku  membantunya  berdiri.
            “Aku  mau  kok  dipeluk  lagi,  hehehehe”  Ujarnya  tertawa  nakal.
            “Ih!  Siapa  juga  yang  sengaja  peluk  kamu.  GR!”  Aku  mendorongnya  lagi  dan  pergi  menjauh.  Semoga  ia  tak  tau  betapa  merahnya  pipiku  menahan  malu  waktu  itu.
            ***
            Tak  terasa  waktu  berlalu  begitu  cepat,  hari  ini  tepat  14  Februari ,  ulang  tahunku  yang  ke-17. Dimana  sa’at  ini,  para  insan   berlomba – lomba  mengungkapkan  perasa’anya   pada  orang  terkasih. Valentine  Day  begitu  special  bagi  mereka  yang  telah  memiliki  pasangan.  Sedangkan  aku  masih  menikmati  kesendirianku  dalam  ruangan  ini.  
            Malam  semakin  larut  namun  aku  masih  ingin  menyelesaikan  lembar  terakhir  novel  yang  kubaca.  Tiba – tiba  ponselku  berdering  keras.  Telfon  dari  Rafi  masuk.  Mau  apa  dia ?  Dalam  hati  aku  bertanya – tanya
            “Halo!”
             “Halo  Rasti!  Selamat  Ulang  Tahun,  Happy  Valentine!”  Terdengar  suara  Rafi  di  seberang  sana.
            “Makasih  Raf!  Ada  apa  ?”
            “Kamu  keluar  rumah  sebentar  ya  ?”
            “Emangnya  ada  apa  di  luar”  Aku  semakin  heran  dengan  sikapnya
            “Udah  keluar  aja  ya”  Ia  tetap  memaksaku  pergi
            Aku  menutup  telepon  dan  segera  menuju  pintu.  Tepat  sa’at  aku  membuka.  Kulihat  gelapnya  langit  tampak  begitu  indah  berhiaskan  kembang  api.  Dari  jauh  tampak  Rafi  melambaikan  tangan.  Aku  berlari  menghampirinya.
            “Selamat  ulang  tahun!  Selamat  ulang  tahun!”  Ia  bernyanyi  sambil  membawa  kue  tart  coklat  di  tanganya  bertabur  lilin 17 tahun.  Dengan  bahagia  kutiup  semua  lilin  hingga  tak  satupun  nyala  api  kecilnya  terlihat.
            “Sekali  lagi.  Terima  kasih  Raf!”  Aku  tersenyum  memandangnya
            Namun  ia  tak  membalas  senyumanku  ataupun  ucapan  terima  kasihku. Ia  malah  berlutut  di  hadapanku  dan  menggenggam erat  dua  tanganku  yang  basah .  Begitu  gelisahnya  aku melihat  tingkahya  yang  tak  seperti  biasa.
            “Rasti  aku  suka  sama  kamu.  Maukah  kamu  menjadi  pacarku.”
            Jantungku  berdegup  kencang,  hampir  tak  terasa  lagi.  Aku  begitu  gugup,  dan  ia  hanya  memandangku  diam  seribu  bahasa.
            “Kamu  g’  perlu  jawab  iya,  kok Ras.  Menjadi  teman  dekatmu  akhir – akhir  ini  membuat  waktuku  amat  berharga.  Kamu  terlalu  penting  untukkt ,  ras.”  Ia  bangkit  dan  tersenyum,  mengusap  lembut  rambut  ikalku
            Ia  ingin  beranjak  pergi,  namun  aku  menahan  tanganya,  sama  seperti  sa’at  pertama  kali  aku  dan  ia  bertemu  di  kelas  waktu  itu.
            “Koq  kamu  bangun  dulu  sih,  aku  kan  mau  jawab  iya.”  Jawabku  tersenyum  geli.
            “Jadi  jawabanya……………………!”  Mata  coklatnya  kembali  menatapku  dalam.
            “Iya!  Aku  mau!”
            “Terima  kasih  Ras!”  Ia  sangat  senang  dan  hamper  saja  memelukku.  Aku  mencegahnya  dengan  isyarat  tangan.
            “Tapi  g’  harus  peluk  juga  kan.”
            “Ya!  Ma’af.”  Jawabnya  masih  dengan  senyum.
            Malam  itu  menjadi  kenangan  terindah  yang  tak  kan  pernah  kulupakan  dalam  hidupku.  Di  hari  valentine  dan   umurku  yang  ke  17  ini,  semua  harapan  dan  mimpiku  terwujud.  Semua  bukan  hanya  sekedar  khayalan  yang  tak  berarti  lagi. Terima  kasih  Tuhan,  telah  Kau   hadirkan  ia,  menyapa  keterpurukan  jiwaku,  membawaku  pada  secercah  cahaya  terang  dalam  indahnya  dunia  yang  kuharapkan.


Links

Office

 
Free Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Website templateswww.seodesign.usFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver