Aku masih meraba lembaran-lembaran sunyi, dalam memori
hati yang tak
pasti. Kuhela nafas panjang sejenak, ingin kuterka suatu
masa, masa dimana
bisa kutemukan bahagia.
Tiba-tiba
sebuah suara membuyarkan lamunanku
“Ras,
kamu dipanggil tuh, ma
Bu Aini”
“
Emangnya ada apa Ri
?”
“Aku
juga g’ tau”
jawab Nuri sambil kemudian berlalu di hadapanku.
***
“Raf!
Lesu banget mukanya” Ujar Henry melihat
Rafi dengan wajah murung melangkah
menuju bangkunya.
“Alah!
Rafi itu habis patah hati
diputusin ama Cherly.” Jawab Luna tiba-tiba
membuat Rafi membelalakkan
matanya.
“Wah! Kurang
asem kamu lun. Ngomong asal aja.” Ujarnya
tersenyum sinis
“Udahlah
Raf, ngapain juga dipikirin,
lebih baik juga
kamu sama teman aku
aja, temen aku ada
yang suka lo
sama kamu.” Sela
Dhysa diantara perdebatan mereka.
“Siapa
Dhys, Rasti maksud kamu.”
Lagi-lagi Luna ikut bicara.
“Eh
sembarangan kamu Lun,
Rasti kan sudah
punya pacar” Jawab Dhysa
mencoba menutupi.
Dia bahkan tak mengira Luna akan
dengan semudah itu menebaknya.
”Yang
benar Dhys, masa’ sih Rasti
suka sama orang kayak aku.”
Ujar Rafi tak percaya.
“Aduh
kalian koq jadi salah
paham sih, pokoknya
bukan Rasti!” Teriak Dhysa khawatir.
***
Ah! Berat rasanya langkahku untuk masuk menuju kelas
ini, kelas dimana aku harus bertemu orang yang
aku benci.
“Kenapa
Bu Aini harus nyuruh aku untuk masuk kelas ini sih” Gerutuku dalam hati.
Jantungku berdetak tak karuan
melihatku semakin dekat dengan
pintu kelas.
“Assalamualikum…………………”
Ucapku pelan.
Semua
anak terdiam mendengar suraku, dengan senyum
ramah aku berjalan masuk meminta izin.
“Wah!
Panjang umur nih
cewek.” Bisik Rafi sambil tersenyum
lebar.
“Sebelumnya
terima kasih atas perhatianya, di sini
saya akan menyampaikan pesan Bu
Aini, akan diadakan
pelajaran tambahan untuk bidang
study, Kimia, Matematika dan Fisika,
jika ada yang berminat untuk ikut, bisa daftar sekarang pada saya.”
Jelasku panjang lebar.
Tiba-tiba
di seberang sana kulihat anak laki-laki
itu, mengangkat tangan seraya
berkata
“Saya
ikut” Tegasnya lantang.
“Ah! Sok banget kamu
Raf, tumben biasanya
paling benci ama tiga
pelajaran itu.” Jawab Luna ketus.
“Yeee……………..!
Biarin
aja” Ledeknya, melihatku dari kejauhan.
Aku
hanya menatapnya tajam. Di dalam hatiku
tersimpan rasa tidak
suka yang kini meluap-luap.
Perlahan kuhampiri ia.
“Kalau
gitu namanya siapa ? ” Tanyaku berpura-pura tak mengenalinya, tanpa sedikitpun aku melihat wajahnya.
“Ah! Masa’ sih mbak
Rasti g’ tau nama saya.”
Aku
terkejut mendengar ia menyebut namaku. Darimana ia tahu.
“Saya
emang g’ tau nama situ, cepetan deh, kalau g’ ada niat buat
ikut study ini, mending g’ usah
daftar.” Jawabku segera pergi meninggalkan
tempat itu.
“Eh
tunggu.” Kurasakan tangan lembutnya mencegahku pergi.
“
Nama aku Rafi, catat
ya” Ujarnya tersenyum padaku.
Entah
apa yang terjadi,
aku terpana memandang senyuman itu, senyum yang selama
aku ingin darinya, senyum yang selama
ini
kunantikan, kini ia berikan padaku. Namun segera
kukuasai diriku. Memangnya ia fikir dapat dengan mudah mempermainkan
isi hati seseorang.
***
Dengan
langkah gontai, kususuri jalanan terjal berbatu
di sekelilingku. Kupandangi birunya langit yang kini seakan
menatapku sendu. Aku bingung, mengapa Rafi, yang dulu
sama sekali tak perduli padanya, kini tiba-tiba tanpa sebab
bersikap sok akrab.
“Dasar
laki-laki! Selalu memandang
dari fisik.” Dengan kesal
kulempar bongkahan batu besar
di hadapanku dengan sekuat tenaga.
Rafi,
aku memang salah
membencimu, kau tak
pernah sedikiktpun melakukan salah. Namun rasa
suka yang berlebihan
ini memaksaku tak rela ketika kau dengan
mudahnya mengisi hatimu dengan
cinta lain, dan tak sedikitpun
kau sisakan ruang gerakmu, hanya untuk
memberikanku sedikit saja rasa
simpati.
Kini aku bahkan mengutuk rasa ini,
sebagai cinta yang
salah. Dan penyesalan itu tak
dapat hilang begitu
saja dalam benakku.
Namun
tiba-tiba aku mulai menyadari akan sesuatu kenyata’an yang membuatku sakit. Kau tak
perduli padaku hanya
karena kau tak
pernah tau akan
perasa’anku selama ini.
Untuk sgala waktu
yang berlalu dan roda hidup
yang terus berputar, kau tak
pernah menyadari bahwa aku selalu
mengingatmu.
Jadi,
salahkah dirimu
padaku? Bukankah semua yang
kulakukan ini tiada berguna.
Kebencianku padamu akankah
semua itu sia-sia.
“Kau
tak salah, tak
pernah salah Raf!”
Ingatanku
mulai merayap pada dinding – dinding masa lalu. Sa’at dimana aku
hanya menjadi bahan lelucon orang lain. Sa’at dimana
aku tak pernah merasa
nyaman berhubungan dengan orang
lain terutama lelaki. Sekalipun itu hanya untuk
berbicara. Dan aku
tlah memadamkan api semangatku sendiri untuk mengejar mimpi. Hanya karena
rasa tidak percaya
diri pada tubuhku
yang melebihi berat normal
ini. Andai mereka
tau
? Mereka kira aku
senang dengan ini ? Mereka fikir
aku akan tertawa mendengar canda’an mereka yang
menusuk perlahan hatiku. Aku bukanlah orang yang mudah
menerima hina’an. Bahkan karena hal
ini pun, semua
teman laki-lakiku terlihat enggan untuk
tertarik padaku. Terlalu sering kualami cinta bertepuk sebelah tangan. Dan mereka semua
memalingkan wajah tanpa senyum
sedikitpun.
Hingga
aku mulai melakukan perubahan keras pada
pola hidupku. Awalnya memang berat,
namun tak kan
kubiarkan putus asa, menggelayuti sisi pertahanan lemahku. Aku tak
boleh gagal untuk
yang beribu – ribu kalinya.
Dan
sekarang di sa’at aku
telah memiliki tubuh yang
menarik dan wajah cantik sama seperti
kawan – kawan sebayaku, semua pria
seakan berlomba – lomba menarik perhatianku. Teman perempuanku,
mereka sama saja,
tampak lebih senang
bergaul denganku. Tak kudengar
lagi kata – kata yang menyakitkan
hati atau apapun
yang membuat telingaku sakit. Namun
tetap saja dulu
mereka memandangku lemah dan menilai aku hanya dari
segi fisik semata. Meninggalkan aku sendiri dalam sepi
tanpa jejak.
Dari
hari perubahan hidupku, aku mulai meningkatkan prestasiku, tiada hari tanpa
belajar dan tiada waktu tanpa
menjaga berat badan normalku.
Semua bidang dengan mudah kukuasai. Tiada lagi
malu, yang membuatku
berjalan mundur. Karena aku
berjanji, kekuatan ini akan
terus mendorongku maju, hingga
aku berada pada
puncak tertinggi pencapaian tujuan hidupku.
Kelas
fisika menjadi sangat menyebalkan
sa’at ku tau bahwa aku
satu kelompok dengan Rafi. Entah
mengapa aku jadi
amat membencinya sekarang ? ia bagi segumpal awan hitam
yang membuat hari-hariku mendung kelabu, apa itu
karena dulu aku
terlalu menyukainya ?
Anehnya,
setiap bertemu denganya, ia selalu
menggodaku, membuatku jengkel dan tak
segan aku memukuli
dan mencubitinya hingga ia
mengerang kesakitan. Namun ia
malah tersenyum nakal, membuatku
semakin muak melihat
wajahnya.
Namun
hari ini, aku merasakan
sesuatu
yang hilang, bangku di
samping
Reyhan sa’at itu kosong. Aku mulai
ingat akan tingkah Rafi, yang
mengundang tawa sekaligus
kesal. Di sa’at
– sa’at seperti ini, dari
jauh ia melempariku
dengan gumpalan kertas, membuatku berteriak memarahinya habis – habisan. Hariku menjadi
hampa karena ia tak ada. Akankah
aku akan menyukaimu lagi, Rafi.” Desahku pelan.
***
Siang
hari yang panas ini, memaksaku
untuk segera mempercepat langkah. Tiba-tiba langkahku terhenti, sa’at dengan
jelas aku melihat
sosok yang slama
ini membuat ibuku khawatir,
tengah tertawa puas dengan kawan-kawanya
di ujung jalan sana.
Aku
segera berlari menghampiri
satu - satunya kakak laki-laki yang kumiliki. Dalam genggamanya tampak botol
minuman keras yg sudah
kosong, ia sama
sekali tak menyadari keberada’anku di sampingnya.
“Mas
Faris!” Aku memegang tanganya, agar ia
mengetahui keberada’anku.
“Heh!
Ngapain lu ke sini, ganggu
gua aja!” Tak
sedikitpun ia memperdulikanku.
“Mas,
Ibu’ khawatir sama keadaan
mas, lebih baik
mas pulang ke rumah ya?”
“Ah!
Jangan ceramahin gua anak
kecil
!” Dalam keada’an mabuk satu
tonjokan keras mendarat
di pipiku, hamper saja botol minuman itu melayang pula melukai kepalaku. Namun ada
yang mencegahnya.
“Mas,
jangan kasar dong! Sama
adik sendiri, kakak macam apa
sih!” Orang itu tanpa
basa-basi langsung menghajar mas Faris . Mata buramku
masih dapat mengenali wajah penolongku.
“Rafi!”
Aku berteriak histeris.
“Heh!
Apa’an lu main
hajar – hajar aja !” Gerombolan anak – anak nakal itu
mulai berontak melihat mas Faris
babak belur. Mereka
semua tanpa ampun
mengeroyok Rafi yang terkulai
tak berdaya. Badan lemasku,
berusaha mencegah mereka. Aku hanya
bisa meraba dan menahan kaki – kaki mereka.
“Saya mohon, berhenti! Berhenti sekarang juga!”
Mereka akhirnya berhenti, sa’at para polisi
mulai berdatangan menuju tempat dimana
kami berada. Aku sangat
gugup, melihat tubuh Rafi
yang sudah lemas
bersimbah darah.
“Raf, kamu g’ pa pa kan,
ayo kita ke
rumah sakit.” Ia mencoba bangun dan tetap memperhatikanku dengan tatapan tulusnya ia berkata
“Kamu g’ pa pa kan?”
“Aku g’ pa pa Raf.” Jawabku
seraya menangis terharu mendengar pertanya’an itu darinya. Raf, begitu
berartikah keselamatanku bagimu?
***
“Raf! Masih sakit nggak” Tanganku memegang wajah memarnya.
“Aduh! Masih sakit nih.” Ia meringis kesakitan.
“Ya! Ma’af, ma’af.” Cepat – cepat kutarik tanganku dari wajahnya, namun tiba
– tiba ia mencegahnya dan memegang
tanganku. Ia memandangku dalam penuh makna.
Keada’an ini membuat degup jantungku berdetak kuat seakan
tak tertahan.
“Terima kasih ya Raf!
Kamu udah nolongin aku.” Kataku
membalas genggaman tanganya.
***
Hari ini entah mengapa aku amat bersemangat,
mengikuti kelas fisika.
Aku duduk di samping Rafi yang
baru saja menyiapkan bahan ajaran.
“Tumben! Kayaknya niat banget mau belajar
fisika!” Ujarku menggodanya.
“Yah! Mungkin otakku yang konslet
jadi bener lagi habis
kena pukul.” Ia tertawa geli.
“Kamu nyindir aku ya!
Mentang – mentang udah nolongin.”
Aku jadi sebal
sendiri mendengar perkata’anya.
“Aku cuma bercanda, Ras”
Sejak sa’at itu aku
mulai bisa akur
sa’at bersama dengan dirinya.
Kelompokku yang hanya
beranggotakan dua orang
yaitu aku dan Rafi
berhasil menjadi peserta dalam olimpiade
fisika bulan depan. Tentu
saja, aku tak
akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku dan
Rafi sama – sama bekerja keras, kami bertekad
akan menjadi juara dalam lomba
itu.
Ya Allah………. Aku tak menyangka orang yang
ingin aku lupakan, kini berlari
di sampingku bersama – sama memegang harapan yang sama
untuk meraih mimpi.
***
Papan putih di samping gedung UKS sekolah
SMKN 2, penuh sesak
dengan para siswa yang
menunggu hasil lomba. Aku
dan Rafi ikut membaur bersama mereka. Mencari dengan teliti
nama kami dalam
daftar nama yang
tertera. Aku sungguh
tak percaya melihat
namaku dan Rafi
berada pada urutan paling atas. Segara kuseret tangan Rafi
dan kutunjukkan tulisan itu padanya.
“Kita menang Raf, kita menang. “ Aku meloncat girang dan tanpa
sadar memeluk tubuhnya yang hanya terdiam. Namun aku
segera terjaga dan melepaskan tubuhnya begitu saja,
hingga ia terjatuh.
“Aduh , sakit nih Ras!”
Ia terduduk dan berusaha
bangkit.
“Ma’af, ma’af Raf” kuulurkan tanganku membantunya berdiri.
“Aku mau kok dipeluk
lagi, hehehehe” Ujarnya tertawa nakal.
“Ih! Siapa juga yang sengaja peluk kamu.
GR!” Aku mendorongnya
lagi dan pergi menjauh. Semoga ia tak tau betapa
merahnya pipiku menahan malu waktu itu.
***
Tak terasa waktu
berlalu begitu cepat, hari ini
tepat
14 Februari , ulang tahunku
yang ke-17. Dimana
sa’at ini, para
insan berlomba – lomba mengungkapkan
perasa’anya pada orang
terkasih. Valentine Day begitu
special bagi mereka
yang telah memiliki
pasangan. Sedangkan aku
masih menikmati kesendirianku
dalam ruangan ini.
Malam semakin larut namun aku masih
ingin menyelesaikan lembar terakhir novel yang kubaca. Tiba – tiba ponselku berdering keras. Telfon
dari Rafi masuk. Mau
apa dia ? Dalam hati aku bertanya – tanya
“Halo!”
“Halo Rasti! Selamat Ulang Tahun,
Happy Valentine!” Terdengar suara Rafi di
seberang sana.
“Makasih Raf! Ada apa
?”
“Kamu keluar rumah sebentar
ya
?”
“Emangnya ada apa di luar” Aku semakin
heran dengan sikapnya
“Udah keluar aja ya”
Ia tetap memaksaku
pergi
Aku menutup telepon dan segera
menuju pintu. Tepat sa’at
aku membuka. Kulihat gelapnya langit tampak begitu indah berhiaskan
kembang api. Dari
jauh tampak Rafi
melambaikan tangan. Aku berlari
menghampirinya.
“Selamat ulang tahun! Selamat
ulang tahun!” Ia bernyanyi
sambil membawa kue tart coklat di tanganya
bertabur lilin 17 tahun. Dengan bahagia kutiup semua
lilin
hingga tak satupun nyala api kecilnya terlihat.
“Sekali lagi. Terima kasih
Raf!” Aku tersenyum memandangnya
Namun ia tak membalas
senyumanku ataupun ucapan terima
kasihku. Ia malah berlutut di hadapanku
dan menggenggam erat dua tanganku yang
basah . Begitu gelisahnya
aku melihat tingkahya yang
tak seperti biasa.
“Rasti aku suka sama
kamu. Maukah kamu
menjadi pacarku.”
Jantungku berdegup
kencang, hampir tak terasa lagi. Aku begitu
gugup, dan ia hanya memandangku
diam seribu bahasa.
“Kamu g’ perlu jawab
iya, kok Ras. Menjadi teman dekatmu
akhir – akhir ini membuat
waktuku amat berharga.
Kamu terlalu penting untukkt , ras.” Ia bangkit
dan tersenyum, mengusap lembut rambut
ikalku
Ia ingin beranjak pergi, namun aku menahan tanganya, sama seperti sa’at pertama
kali aku dan
ia bertemu di kelas
waktu itu.
“Koq kamu bangun dulu sih, aku kan
mau jawab iya.”
Jawabku tersenyum geli.
“Jadi jawabanya……………………!” Mata coklatnya kembali menatapku dalam.
“Iya! Aku mau!”
“Terima kasih Ras!” Ia sangat senang dan
hamper saja memelukku. Aku mencegahnya
dengan isyarat tangan.
“Tapi g’ harus peluk juga kan.”
“Ya! Ma’af.” Jawabnya masih dengan senyum.
Malam itu menjadi kenangan terindah yang tak
kan pernah kulupakan dalam hidupku.
Di
hari valentine dan umurku yang
ke 17 ini,
semua harapan dan mimpiku terwujud. Semua bukan
hanya sekedar khayalan yang tak berarti
lagi. Terima kasih
Tuhan, telah Kau hadirkan
ia, menyapa keterpurukan jiwaku, membawaku pada secercah cahaya terang
dalam indahnya dunia yang kuharapkan.
0 komentar:
Posting Komentar