Siang hari
yang panas membuatku semakin jauh melangkah, terik matahari yang membakar
tubuh, memenuhi dahiku yang bersimbah peluh, namun belum juga kutemui angkutan
umum yang kunanti.
Jalanan raya yang semakin ramai,
membuatku gerah, berkali-kali kuteguk secangkkir es jeruk yang kubeli dari
pedagang tepi jalan. Kuhela nafas panjang, segera kuberdiri dan melanjutkan
lagi penantianku.
Kulihat seorang laki-laki tinggi di
sampingku, tampaknya ia akan menyebrangi jalan yang kian padat. Sa’at ia mula
bersiap mobil berwarna hitam legam muncul tiba-tiba, melaju dengan kecepatan
tinggi, seketika wajahnya yang panic membuat tubuhnya kaku dan hanya berdiam
terpaku di tengah jalan, aku berteriak histeris dan segera meraih tanganya,
kuseret ia hingga tak sengaja kubuatnya jatuh tersungkur. Beruntunglah aku dan
ia hanya lecet-lecet saja.
“Ma’af mbak, ma’af” Katanya seraya
menjabat tanganku untuk membantuku berdiri.
“Aduh mas, ati-ati kalau nyebrang,
iku mau sampeyan hamper ae keserempet mobil, mikir opo to mas?”
Ia hanya tersenyum dan terlihat
bingung mendengar gaya bahasaku.
“Ma’af mbak, saya g’ ngerti bahasa
jawa, saya ini dari Jakarta, saya juga baru saja sampai”
Aku tersenyum mendengar penuturanya,
pantaslah ia tak mengerti apa yang ku katakan.
“Owh! Jadi begitu mas, sekarang
tujuan mas mau kemna?” Tanyaku padanya yang tampaknya hanya seorang diri di
sini. Apalagi ia baru pertama kali di Surabaya, mana ia hafal jalan-jalan di
kota besar ini? Jangan – jangan ia tersesat dan tak tau tujuan diman aia akan
singgah.
“Sebenarnya saya mau cari kos-kosan.
Mbak mau g’ bantu saya cari. Tolong mbak, saya g’ tau jalan daerah-daerah sini,
saya Cuma sendiri”
Wajahnya tampak begitu putus asa
ternyata benar semua duga’anku. Akhirnya aku pun membantu pria yang bernama
Dika itu, mencari tempat tinggal sementara, untunglah, tak begitu lama, kami
menemukan tempat yang cocok.
Suasana taman sekolah yang damai,
memaksaku uutuk duduk lebih lama di sana. Dalam sunyi aku bisa lebih tenang,
entah kenapa hari ini aku ingin sendiri. Tiba-tiba tampak seorang laki-laki
dari kejauhan, langkahnya yang begitu cepat bagai memburu waktu yang beradu
dengan kebutuhanya sekarang. Tunggu, aku mengenal sosok itu. Dan benar, ketika
melihatku ia mencoba menyapa walau hanya lewat sesungging senyumnya.
“ Mas, yang kemarin dari Jakrta itu
ya?”
“ Iya mbak, ternyata mbak masih
ingat saya”
“Iya, iya yang namanya sapa y?” Aku mulai mengingat-ingat
lagi kejadian kemarin sa’at aku bertemu denganya.
“Dika !” Jawabku spontan.
“ Iya, skali lagi terima kasih mbak atas bantuanya.”
“Sama-sama eh kamu kok bisa
ada di sini, kamu mau daftar jadi siswa baru di sini?”
Ia diam sejenak sebelum menjawab pertanya’an dariku.
“Iya mbak, saya mau sekolah di sini, kebetulan ya kita bias
satu sekolah.” Ujarnya masih dengan senyuman.
“Oh ya! Kamu tadi mau ke ruang guru ya.” Jawabku kemudian
mengingatkan akan tujuan kedatanganya semula.
“iya ya, saya hamper lupa mbak, ya sudah saya pergi dulu mbak
ya.” Ia tertawa dan segera berlalu meninggalkanku. Wajahnya memang tampak
seperti anak kota yang sombong. Tapi sikapnya begitu sopan. Aku mulai berhenti
melihatnya yang lama-kelama’an hilang di balik pintu.
“Ramainya kelas membuat aku semakin jenuh, hujan deras di
luar masih belum juga reda. Tak terasa teman-temanku mulai terdiam sa;at
terdengar seseorang mengetuk pintu kelas dan masuk sambil tersenyum ramah.
Aku mulai
menyadari, orang itu adalah Dika, sesa’at aku berfikir, bahwa ia akan menjadi
teman sekelasku, namun aku harus menghapus duga’anku nitu sa’at ia membuka suara.
“ Selamat
siang” Sapanya kemudian pada kami.
“Selamat siang”
“Adik-adik semua, perkenalkan nama
saya Dika Nugroho, saya adalah guru pengganti dari Pak Radityang mengajar
ekskul music.”
Apa?!!!!! Aku begitu terkejut
mendengarnya. Kusadari ia sudah berkata bohong. Aku tak menyangka seorang Dika
yang tampak muda dan hanya beberapa tahun lebih tua darinya akan menjadi bapak
gurunya. Kusesali perilaku tak sopanku sa’at berbicanya padanya. Oh Tuhan………….
Aku sungguh tak tau bahwa ia akan menjadi orang yang seharusnya kuhormati.
Akhirnya tiba pula bel pulang sekolah
yang sangat kunanti-nanti
“Wulan!” Kudengar seseorang memanggil
namaku dari belakang. Aku segera menoleh dan amat terkejut melihat siapa yang
tengah menyapaku sa’at itu. Tak kuharapkan aku akan bertemu denganya Pak Dika.
Keringat dingin mulai membasahi tubuhku melihat ia semakin dkat melangkahkan
kakinya ke arahku. Antara malu dan takut bercampur menjadi sesuatu perasa’an
tidak menentu
“ Kenapa Wulan ? Ma’afkan saya ya,
sudah sudah bohong sama kamu.”
“Aduh pak, saya byang harusnya minta
ma’af, masa’ bapak sih yang jadinya sopan sama saya. Saya beneran takut loh
pak, sudah g’ sopan sama bapak”
“g’ pa- pa lah Wulan, aku dan kamu
ini teman, jadi bukan hanya sekedar murid dan guru, lagipula jangan panggil
bapak dong, umur saya kan baru 20.” ucapnya sambil tertawa lepas.
Aku menghela nafas lega mendengar
jawabanya, tak kusangka ia orang yang pandai berkawan, mengingat aku adalah
orang yang tidak mudah berteman baik dengan seorang yang baru ku kenal.
Hari demi hari kulalui, kelas ekskul
music bertambah ceria semenjak datangnya Pak Dika di tengah-tengah kami. Dia
mengajari kami berbagi hal, karena
usianya yang masih muda ia dengan mudah melakukan pendekatan pada murid
didiknya. Paling tidak pengetahuan kami akan music semakin bertambah karena ia
selalu membantu kami dalam melengkapi segala kekurangan yang ada. Dia sudah
menjadi orang terdekatku. Karena kami sudah seperti sahabat karib. Ia orang
yang paling mengertiku sa’at aku ingin berbagi.
“Wulan, kamu mau.” Ujarnya tiba-tiba
duduk di sampingku sambil menwarkan secangkir susu coklat hangat padaku. Aku
mengangguk dan segera mengambil coklat hangat itu dari tanganya.
“Kamu pernah meraakan cinta, Wulan!”
Aku terheran-heran mendengar pertanya’an darinya, hal itu membuatku tertawa
keras.
“Kenapa kamu malah tertawa?” Ujarnya
lebih heran lagi melihat responku
“Aduh pak, saya itu sudah kapok sama
yang namanya cinta. Cinta itu sama sekali g’ penting dalam kehidupan saya
sekarang, virus penyakit hati yang harus dibasmi” Ia tersenyum melihatku yang
begitu antusias menghina cinta.
“Saya mau cerita sama bapak, tapi
bapak jangan ketawa ya.” Aku mencoba memastikan bahwa ia takkan mengejekku
setelah aku berbagi kisah denganya. Ia mengangguk mencoba meyakinkanku.
“Mulai dari cinta pertama hingga
cinta ke 5 yang saya alami, semua rasa itu tak pernah ada satupun yang
terbalas.”
“ Waduh……………! Itu cinta apa minum
obat, yang benar itu 3 kali sehari.” Jawabnya penuh gelak tawa
“Ah! Beneran kan bapak akhirnya jadi
bercanda, udah dong pak jangan godain cerita saya, saya serius nih.” Ucapku
kesal
“Oke, oke, jangan ngambek gitu lah,
senyum” Ia tersenyum lebar memaksaku untuk memaklumi sikapnya.
Aku terdiam kuhela nafas panjang,
menghilangkan kepenatan di sekujur tubuhku. Semilir angin masih berhembus
tenang. Kudekap erat kedua lututku seraya bersandar, kuinginkan kenyamanan yang
membuat hatiku tentram.
“Bapak, g’ akan tau bagaimana rasanya
cinta bertepuk sebelah tangan, yang selalu saya alami setiap saya jatuh cinta,
hal itu sifatnya sakit, bodoh dan sia-sia, mengharap kebahagia’an pada sesuatu
yang sama sekali tak perduli.”
Aku diam sejenak, memandang hamparan
rumput hijau di hadapanku, langit seakan tau isi hatiku, mendung kelabu mulai
menutupi kecerahan senja sa’at itu. Aku melanjutkan kata-kataku.
“ Bodohnya, cinta sia-sia itu
mengganggu konsentrasi belajar saya pak. Dan saya janji saya g’ akan
menyia-nyiakan waktu ini pak, kurang 1 tahun lagi saya akan lulus.”
Kutatap lagi matanya, pandanganya
yang teduh mengisyaratkanku untuk melanjutkan komitmen yang aku buat.
“Saya harus lulus dengan nilai
terbaik dan dapat pekerja’an yang mapan pak. Saya tak tega melihat orang tua
yang selalu kerja banting tulang demi sekolah, demi hidup dan sgala kebutuhan
saya, sedangkan saya tak sedikitpun dapat memberi kebahagi’an pada mereka.
Meski mereka tak pernah mengharap balas dari sya, namun tetap saja saya……………” Aku
tak melanjutkan kata-kataku. Perlahan ia menepuk lembut pundakku.
“Saya tau, orang tuamu, pasti sudah
bangga sma kamu, Kalau mereka tahu kanu punya pemikiran yang demikian.”
Tersadar ku akan kenangan-kenangan
masa silam, masa-masa suram yang tak seharusnya kuingat.lagi. Aku tak ingin
lagi menjadi Wulan yang dulu, yang egois, yang ingin menang sendiri, yang
pemalu, yang tak tau diri. Aku yakin aku bisa mengubah itu semua.
Aku yakin sinar takdir itu akan
dating, jeratan beban itu akan musnah, dan malam kelam akan berganti menjadi
hari yang cerah. Masih banyak orang di luar sana dengan nasib pedih yang
terkadang membuatnya bagai tak berarti untuk hidup lebih lama lagi. Jadi untuk
apa kusesali hidup anugrah Tuhan Yang Maha Pengasih ini.
“Wulan, kamu melamun?”
Lamunanku buyar seketika, sa’at Pak
Dika memecah kesunyian di senja hari itu.
“Tapi salahkahkah pak jika saya
memiliki sedikit saja harapan bahwa seorang pangeran akan dating dalam hidup
saya, sedikit saja.”
Ia terdiam sejenak dan kembali
metapku seraya berkata.
“Bagaimana jika pangeran itu sekarang
ada di sampingmu?”
“Maksudnya?” Tanyaku heran.
Dalam sekejap ia memalingkan
pandanganya dariku. Ia menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertawa geli.
“Aku bercanda lagi, kamu kena 1-0”
Aku tau betapa ia sangat member
perhatian lebih padaku. Tapi aku lebih tau diri lagi untuk tidak mengharapkan
hubungan special darinya. Aku adalah murid dan ia seorang guru, meski umurku
tak jauh beda denganya, tetap sja aku hrus menghargai posisi itu.
Waktu berlalu begitu cepat, bagai
debu yang tertiup angin tak berbekas, namun itu tak seperti perjalan hidup yang
kualami seperti biasa, sgala kenangan yang kulalui amat berarti. Tak seperti
pengalaman jenuh yang membuat hidupku bosan. Pak Dika tlah menorah secercah
bahagia dan warna yang berbeda dalam setiap langkahku.
Akhirnya tiba pula hari yang slama
ini aku tunggu dan mungkin bukan hanya aku saja yang telah menanti hari ini.
Semua kawan-kawanku juga amat mendamba datangnya hari kelulusan ini.
“Baiklah akan kami sampaikan pada
hari wisuda para siswa-siswi SMKN 1, bahwa pada kelulusan tahun ini nilai
terbaik jatuh pada Anindya Wulan”
“Wulan,wulan itu kamu loh, kamu yg
jadi siswa terbaik tahun ini.” Tiba-tiba Sari berteriak di hadapanku yang hanya
terpaku. Aku sangat tak percaya pada apa yang kudengar sa’at ini. Segar kutatap
wajah ibuku, dari sudut matanya kulihat tangis air mata bahagia. Ia bisikkan
lembut kata-kata yang buatku benar-benar bahagia, melihat sedikit kebangga’an
itu tercipta di hati mulia ibuku.
“Silahkan agar Anindya Wulan beserta
wali murid, untuk naik ke atas panggung, memberikan sambutan.” Kudengar tepuk
tangan riuh langkahku dan ibu menuju podium. Tampak dari jauh kulihat sosok
wajah yang selalu memotivasiku hingga kini, pak Dika mengacungkan jempolnya
padaku. Seperti mengisyratkanku pada sebuah kalimat yanga selalu ia katakana
padaku.
“Lihat kamu biasa buktikan kalau kamu
bias, jika kamu mau berusaha”
Semilir angin yang lembut membuatku
hatiku yang bahagia ini menjadi semakin damai. Suasana ini mengingatkanku pada
kenangan yang kulalui a’at masih bersamanya”
“Pak Dika” Aku memanggilnya perlahan,
hampir suaraku tak terdengar tenggelam oleh kuatnya hembusan angin.
“Ada apa memanggilku?” Sebuah suara
yang nampak tak asing lagi bagiku, muncul bersama kedatangan Pak Dika yg
tiba-tiba saja duduk bersandar tepat di sampingku berdiri.
“Pak Dika dengar” Tentu saja aku malu
mengetahui ia berada di dekatku sejak tadi.
“Dengarlah, kamu kangen sama saya,ya”
Ujarnya tertawa lagi
“Tuh kan bapak bercanda lagi.” Aku
mengalihkan pandangan dengan kesal.
“Selamat ya, kamu yang terbaik tahun
ini” Ia kembali melakukan itu mengangkat jempolnya untukku
“Siiip” Aku melakukan hal yang sama
denganya
“Emm, tapi aku ingin mengucapkan
terima kasih sama bapak, Pak Dika adalah motivator terbaik dalam hiduo saya.”
“Oke, tapi ada satu yang yang saya
tidak suka dari kamu?” Ia tampak serius mengerutkan dahi.
“Haaaaah? Apa itu pak?” Aku berteriak
heran
“Umur saya masih 21, saya bukan
gurumu lagi, dan kamu masih memanggil saya bapak, bukanya usia kita hanya beda
3 tahun ya?” Ia berkata panjang lebar membuatku menahan tawa.
“ Hahahahaha, oke pak Dika, oh emmm
maksud saya Dika, meski sampai kapanpun anda akan tetap menjadi guru terbaik
saya.”
“Jika saya ingin beralih menjadi
orang yang paling menyayangimu, gimana?”
“Maksud bapak, Pak Dika mau bercanda
lagi, aku…………………..”
Aku tak melanjutkan ucapanku sa’at
satu jari lembutnya mengisyratkanku untuk diam, pandangan matanya seakan dalam
menatapku jauh, kurasakan genggaman hangat tanganya meraih jemariku yang mulai
gelisah. Ada apa dengan orang ini, pikirku?
“Aku menunngu hari yang tepat untuk
bilang, bahwa dari dulu aku mencintai kamu Wulan. Sejak pertama kita bertemu,
dan aku benar-benar tak berharap kita akan berada pada posisi ini.”
Aku tak berani beradu pandang
denganya lagi, kucegah ia memegang tanganku lebih lama. Tapia pa yang kurasa,
membuat aku bingung, jantungku berdegup kencang mengetahui ia menyukaiku. Dari
relung hati terdalam tersimpan satu rasa yang ingin menerimanya.
“Jadi……………………..” Ia kembali memaksaku
untuk menjawab.
Aku tersenyum dan mengangguk seraya
membalas pandanganya, dari sudut wajahnya kulihat secercah kebahagia’an.Namun
ada sesuatu hal yang membuatku kembali terdiam.
“Ada apa lagi Wulan.” Tanyanya
melihatku tengah memikirkan sesuatu.
“Bukanya Dika akan kembli ke
Jakarta.” Ucapku kecewa.
Ia malah tersenyum mendengar
perkata’anku.
“Koq kamu senyum-senyum sih, kamu mau
bercanda lagi y?” Kali ini aku benar-benar kesal padanya.
“Tunggu, dengar perkata’anku dulu y?
Kamu tau kan bahwa siswa terbaik tahun
ini akan dapat beasiswa kuliah di Jakarta.”
“apa?!!!!!! Beneran pak” Lagi-lagi
kenyata’an bahagia ini membuatku tak percaya.
“Tuh kan pak lagi.” Ia bahagia
memandangku.
Aku tak memperdulikan ucapanya lagi.
Tanpa sadar aku memeluknya dengan erat. Karena aku begitu bahagia sekarang.
Tiba-tiba…………………………………………
“Cie………………………….cie…………………Wulan lagi
ngapain nih” Suara Sari membuat pelukanku lepas dari tubuhnya.
“Ma’af pak saya seneng banget” Ujarku
tersipu malu
“G’ po po kok, wong aku tresno banget
karo Wulan,hehehehe” Jawabnya seraya menggenggam erat tanganku.
“Wah Pak Dika udah bias bahasa Jawa.”
Kata Rina spontan, membuat kami tak dapat menahan gelak tawa.
Aku bahagoa melihatnya begitu saja
hadir, membawa sejuta warna yang berbeda dalam hidupku, mengubah persepsiku
bahwa tiada hal yang mustahil, karena kekuatan hati yang berkemauan akan
mengubah sgala hal yang tak mungkin. Soal cinta, cinta itu bukan virus. Dia
hanya rasa yang seharusnya jatuh pada orang yang tepat. Dan akan hadir sa’at
kau tidak menduganya. Cinta yang benar adalah cinta yang membuatmu lebih baik
bukan cinta yang membuatmu terjerumus dalam hal yang salah. Karena ia akan
slalu tau dan menunjukkanmu pada kehidupan yang lebih cerah. Percaya atau
tidak, aku tlah menemukan pangeran impianku dalam diri Pak Dika.