Seperti mimpi rasanya saat Tania tiba-tiba saja duduk di
sampingku. Menyapaku dengan seulas senyum manisnya, yang telah menaklukan hati
para cowok seantero sekolah.
“Hai
Alia, sendirian aja.” Kurasakan tangan halusnya menepuk pundakku
“Tania?”
Ucapku setengah sadar, menatap mata sayunya yang tampak sempurna dengan style
rambut berponi miliknya.
“Kau
tampak slalu melamun, bukankah lebih baik kau bergabung dengan yang lain.”
Ujarnya seraya menunjuk ke arah sekumpulan kawan-kawanya di ujung ruangan,
entah apa yang mereka obrolkan, nampaknya bahasan yang cukup menarik hingga
membuat mereka larut dengan canda dan tawa.
Yah..................aku
memang suka dengan duniaku sendiri. Khayalan dan lamunanku yang entah sampai
mana akan terus melambung jauh. Berada di tengah kerumunan orang membuatku tak
nyaman, bisa dibilang aku cewek pendiam dan sukar bergaul. Mungkin aku minder
dengan faktor fisik. Tubuh bulat dengan tinggi tak seberapa. Kacamata tebal dan
kulit hitam kusam yang tak terawat, semakin lengkap dengan koleksi jerawat yang
sangat menggemari wajahku ini. Ditambah dengan tingkah yang kikuk dan otak yang
g’ seencer murid-murid jenius lainya, tampak benar-benar pantas julukanku
sebagai cewek jelek dan aneh. Itu sedikit menyebalkan....................
“Emmm,
aku di sini aja ya Tan, aku lagi ngerjain tugas nih,”Balasku seraya membetulkan
letak kacamata. Tania, cewek yang sangat sempurna, selain pandai dan berwajah
menarik, hatinya pun melukiskan parasnya yang indah. Tak salah jika banyak
cowok yang setengah mati naksir padanya.
“Teng
teng teng teng”
“Eh udah
bel pulang tuh, sekalian aja pulang bareng.”
“Dasar bel tidak diuntung”Kutukku dalam hati,
kenapa baru datang sekarang, setelah kutunggu begitu lama, mengapa muncul di
waktu yang tak tepat. Aku kembali memutar otak, mencari alasan yang tepat untuk
kembali menolak ajakan Tania.
“Sekali
lagi ma’af Tan, aku masih ada perlu sama Bu Ranti, jadi aku g’ bisa langsung
pulang.”
“Owh
gitu, sayang banget, ya udah aku pulang dulu ya?” Seperti kupu-kupu yang
terbang meninggalkan bunga tidak bermadu, Tania melambaikan tanganya padaku,
berlalu secepat angin pergi dengan kawan-kawanya yang lain.
“Akhirnya
ku sendiri lagi setelah lewati hariku denganya.” Kuhela nafas panjang sambil
masih asik bersenandung lagu favoritku “Sendiri lagi”. Melangkah gontai
dihadapan pos satpam dengan topeng senyum palsu aku sibuk menyapanya yang tak
pernah lupa bersikap ramah. Tiba-tiba aku tersentak melihat laki-laki setengah
baya, berdiri tak jauh dari pintu gerbang. Sepertinya ia tengah menunggu
seseorang. Tapi bukanya hanya tinggal aku yang belum pulang. Tak ingin membuang
waktu untuk sesuatu yang bukan urusanku. Aku bergegas melanjutkan langkahku.
Namun hatiku mulai was-was meyadari laki-laki itu membuntutiku dari belakang.
Dengan segenap keberanian aku berbalik arah dan bersiap meluncurkan serangan.
Wajahnya yang terutup helm membuatku semakin curiga.
“Eh
siapa kamu?” Bentakku gelisah, seraya melayangkan tas ranselku ke arahnya.
“Eh
tunggu tunggu, aku g’mau berlaku jahat koq.” Ia mulai bersuara dan membuka
helmnya.
Aku
tersentak melihat wajah itu. Wajah yang mungkin bukan hanya aku yang
mengenalnya tapi seluruh orang yang biasa menonton acaranya. Dia Adrian, aktor
yang kini namanya tengah naik daun, karena membintangi salah satu sinetron
remaja. Parasnya yang ganteng membuatnya digemari gadis-gadis atau bahkan
ibu-ibu dapat dengan mudah menjadi fans beratnya. Namun tidak denganku. Dulu
aku memang penggemar beratnya tapi karena suatu hal, semua persepsiku padanya
berubah. Sebuah kejadian menyebalkan terjadi beberapa hari yang lalu.
Aku mendengar kabar ia akan mengadakan tour
dan datang ke kota ini. Dengan semangat aku berangkat sendirian menuju gedung
yang akan digunakanya untuk jumpa fans. Tapi sa’at berangkat, aku mendapati
sebuah mobil tak tau diri membuat baju favorit yang sengaja kubeli untuk
bertemu Adrian, kotor tersiram air lumpur bekas hujan. Dan yang membuatku tak
kalah jengkel adalah pengendara mobil itu yang ternyata seorang Adrian. Tanpa
kata ma’af sedikitpun ia memakiku kasar.
“Eh,
cewek jelek lihat-lihat dong kalo jalan, kalo ketabrak gw lagi yang disalahin,”
Kata-kata
itu masih terekam jelas dalam memori otakku hingga kini.
“Hei!
Loe g’ pa pa kan.” Ucapnya tiba-tiba menyentuh bahuku, membuat lamunanku buyar
seketika.
“Mau apa
kamu ke sini!” Balasku kasar, menampik keras tanganya yang sejenak singgah di
bahuku.
“Loe
masih marah sama gw, gw minta ma’af deh.”
“Kamu
kenal sama aku” Tanyaku bingung
“Loe kan
cewek yang kena siram mobil gw di trotoar waktu itu, yang hampir gw tabrak.”
Aku
tertegun mendengar penuturanya.Jadi Adrian dapat mengenali wajahnya sa’at itu.
“Owh!
Syukur deh cowok sombong kayak kamu udah sadar dan mau minta ma’af, kalau
urusanya udah selesai, aku mau pulang.” Ujarku bergegas pergi meninggalkanya.
“Eh tunggu!
Gw butuh bantuan loe.” Cegahnya seraya memegang tanganku
“Apa’an
sih! Dasar cari kesempatan.” Aku kembali menampik tanganya yang menyentuh
sembarangan.
“Ge-Er
banget sih loe, siapa juga yang seneng megang tangan cewek jelek kayak loe.”
Lagi-lagi tabiat buruknya muncul, membuatku teringat lagi dengan kejadian
kemarin
“Tuh
kan, omongan kamu kayak gitu lagi.Aku pergi nih”
“Eh
jangan-jangan, iya gw minta ma’af banget sama loe, sekarang gw bener-bener
butuh bantuan loe." Ucapnya dengan wajah melas
“Oke
deh, karena aku orang baik. Aku bersedia bantu kamu.” Kataku sembari
menjetikkan jari di depan wajahnya.
“Dari
tadi kek setujunya, kalo gitu cepet ikut gw.”
“Kemana?”Tanyaku
heran
“Udah
ikut aja.” Setelah berkata demikian, ia segera menaiki motor besarnya.
“Eh koq
loe diam aja.” Ucapnya tak sabar melihatku yang hanya melongo melihat motor
kerenya.
“Aku
naik ini.” Ucapku dengan wajah culun menunjuk ke arah motornya
“Ya
iyalah, ayo cepetan.”
Tanpa
berpikir panjang lagi, aku segera menuruti perintahnya.
“lo, mau
makan apa?” Ia kembali berucap sa’at melihat buku menu di depanya. Aku hanya
melihat sekeliling restoran mewah yang seumur hidup baru kukunjungi.
“Eh, aku
minum es teh aja.” Jawabku sedikit enggan dan tak nyaman.
“Simple
banget sih pesenan loe, gw beli’in jus aja ya.” Iaki-laki itu tersenyum dan
tertawa kecil melihat tingkahku yang mungkin konyol. Senyuman yang baru kulihat
sejak pertemuanku denganya.
“Terserah
kamu deh.” Ia kembali tertawa dan menutup buku, sambil mengedarkan pandangan ke
seluruh penjuru ruangan. Ia memanggil salah satu pelayan.
“Sebenarnya
kamu mau minta bantuan apa sih.” Tanyaku tak sabar melihatnya yang seolah lupa
dengan tujuan utama.
“Owh
iya, gw hampir aja lupa.” Ujarnya sibuk dengan steak pesananya. Setelah menoleh
ke kanan dan ke kiri layaknya seseorang yang hendak menyebrang jalan, setengah
berbisik ia mengatakan sesuatu padaku.
“Aku
butuh bantuan loe, untuk jadi pacar sewa’an gw.”
“Ha?????????”
Aku hampir tersedak dan jantungku pasti sudah loncat jika aku tak memegangi
dadaku waktu itu.
“Sssssssssst
lebay banget sih lo, jangan berisik.”Sentaknya kesal seraya kembali
memperhatikan orang – orang di sekeliling ruangan, berharap tak satupun dari
mereka mendengar apa yang sudah dikatakanya barusan.
“Kamu pasti
salah orang, aku punya temen yang 1000%
lebih cantik buat kamu jadi’in pacar buatan.”
Ia menghela nafas sejenak, kembali menyentuh makanan, seolah
mengacuhkanku. Kubiarkan saja tingkahnya, hingga ia berhenti dan menatap tajam
mataku. Ia melakukanya lagi tersenyum tanpa sebab.
“Gw memang
mencari orang yang seperti loe,bukan orang yang cantik raganya.”
“Maksudmu?”
Aku hampir tersentuh mendengar pengakuanya, batinku mengira bahwa hanya dia-lah
anak adam yang mampu menyadari bahwa wanita tak hanya dilihat dari parasnya
namun kesucian hatinya.
“Nyokap
meginginkan gw berpacaran dengan seorang cewek jelek, dia bilang gw harus
belajar arti kesederhana’an yang sebenarnya. Dan semenjak gw berdiri di depan
sekolah loe, cuman loe cewek yang paling jelek dari lainya.” Ujarnya tanpa dosa
tertawa jahat.
“Dasar
kurang ajar! Jujur banget sih.” Aku kembali sebal memandang ke luar jendela,
“Jadi
gimana loe mau g’ bantu gw.” Tanyanya penuh harap sambil meremas garpu di
tangan, mungkin dalam hatinya ia mulai gelisah.
“Aku mau
bantu kamu, tapi dengan satu syarat.” Ucapku masih memandang ke arah jendela.
“Hah!
Ternyata cewek kayak loe, bisa matre juga!” Ujarnya seraya melahap makanan.
“Enak
aja, aku bukan cewek matre yang ingin uang banyak!!!” Balasku dengan keras,
menyita pandangan beberapa orang di sekitar meja. Kini aku berbalik menatapnya,
bagai tak gentar melawan sorotan matanya yang lebih tajam.
“Lalu” Lanjutya seolah memberiku pilihan.
“Aku
ingin kurus.” Lanjutku ragu sambil takut-takut menatapnya, menunggu respon dari
wajahnya yang sok ganteng itu.
“Haaaah!!!
Loe mau sedot lemak.” Balasnya lebih keras dari bentakanku tadi. Bahkan aku
hampir melonjak dari tempat dudukku, saking malunya aku dengan orang-orang yang
mulai berbisik aneh memperhatikanku. Tanpa segan kupukul keras kepalanya dengan
sendok.
“Sakit
tauk, kriminal banget sih lo jadi cewek. Dasar preman!!!” Ia tak henti-hentinya
mengutukku dengan kata-kata kejamnya itu.
“Habis,
kamu keras banget sih bilangnya, sengaja ya?.”
“Hehehehe
sorry sorry gw reflek.” Ia tertawa keras layaknya seorang pemenang.
“Lagipula
aku mau kurus secara alami.” Ujarku kembali berkata serius.
“Gimana
caranya, emang gw ibu peri yang bisa kabulkan permintaan sulit kayak gitu.”
Katanya seraya mengangkat tangan serta melambaikan sendok bagai ibu peri yang
tengah melambaikan tongkat.
“Kamu
bisa sewa trainer, jika dengan paksa’an aku pasti bisa kurus, please, aku udah
benci banget dengan keadaan ini. Aku ingin mengubah hidupku setelah satu impian
itu dapat terwujud. Cuma kamu satu-satunya harapanku.” Ucapku mengiba.
Tampaknya ia luluh pula dengan perkata’anku. Ia tampak berpikir sambil
memutar-mutar sendok seolah tengah menimbang-nimbang sesuatu.
“Oke gw
setuju, asalkan loe juga setuju untuk bantu gw, sama kayak rencana awal” Akhirnya ia berkata juga setelah dengan
harap-harap cemas aku menunggu, sungguh jawaban yang sangat memuaskan.
“Tanpa
ragu lagi, aku jawab sangat setuju.”
“Deal?”
Ujarnya mengajakku berjabat tangan sebagai syarat terjadinya sebuah perjanjian.
“Deal.”
Balasku puas, membuat kami tersenyum bersama-sama.
Hari ini
hari minggu, masih terlalu pagi untuk menerima telepon tak sopan yang sejak
tadi sudah meraung-raung membuatku kesal.
“Siapa
sih” Ucapku dengan mata yang masih terpejam seraya meraba-raba mencari
handphone.
“Halo,
siapa sih pagi-pagi udah telepon.” Bentakku kasar tanpa tahu siapa orang di
seberang sana yang tengah mengajakku berbicara.
“Eh, loe
yang darimana aja tadi, masih molor ya? Cepet bangun, gw tunggu di perempatan
deket rumah loe, eh jangan lupa pakek baju olahraga, dan g’pakek lama. Udah! gw tutup dulu ya?” Ujarnya tak kalah kasarnya
denganku, berkata panjang lebar layaknya pak guru killer yang mengajar
pelajaran
“Eh
tunggu tunggu!! Kamu siapa sih, seenaknya aja nyuruh aku.”
“Katanya
loe mau kurus, gimana sih? Gw ibu peri yang mau ngewujudin mimpi loe itu.”
Mataku
yang sedari tadi merem sampai terbelalak saking kagetnya, Adrian ngajak aku
jogging pagi itu.
“Adrian,
oke g’ sampai 5 menit aku akan ke sana tunggu ya?” Kataku lagi, setelah menutup
telepon, aku bergegas bangkit dan mencuci muka, lalu berganti baju olahraga dan
training yang biasanya hanya kupakai sa’at pelajaran olahraga di sekolah. Tanpa
menunggu lama lagi aku segera berlari menuju tempat tujuan.
Akhirnya
tampak pula perempatan jalan yang disebut Adrian. Disana tampak olehku Adrian
yang tengah bersandar di depan tembok bercat biru muda. Ia terlihat keren
dengan model baju dan celana training hitam dengan topi yang melekat di
kepalanya.
“Adrian!!”
Spontan aku melambaikan tangan ke arahnya.
“Yaelah lama banget sih, katanya
g’ sampe’ 5 menit, nih udah lebih dari 10 menit.”
“Masa’ sih. Aku kan udah lari
dari rumah sampai sini.” Ucapku sambil memperhatikan jam yang melingkar di
tangan.
“Ya udah deh, sekarang kita mulai
joggingnya keliling desa.”
“Yang benar aja, bisa pingsan aku
Adrian.” Aku keberatan jika harus jogging sejauh itu, dari rumah hingga
perempatan saja segini capeknya, apalagi satu kampung.
“Niat
kurus g’ sih loe” Balasnya seraya berlari duluan mengacuhkan keluhanku.
“Eh
tunggu Adrian.” Terpaksa aku segera kembali berlari menyusulnya.
Sudah hampir satu jam Adrian tak
kunjung berhenti, hingga aku tak kuat lagi dan jatuh karena kepayahan mengikuti
kecepatanya dari belakang. Mungkin ia menyadari ketidakhadiranku di balik
punggungnya, hingga samar-samar kulihat ia yang tadi meninggalkanku, kini
berbalik arah dan mendapatiku yang sudah tak kuat lagi berdiri.
“Ternyata loe di sini, koq duduk
ayo terusin lagi.”
“Ma’af Adrian aku g’ kuat lagi.” Ujarku
terengah-engah seraya masih mengambil nafas panjang, karena kehabisan oksigen.
Tampaknya ia iba juga melihatku dengan keringat bercucuran. Ia tiba-tiba duduk
di dekatku, seolah mengerti ketidakmampuanku untuk melanjutkan lagi.
“Ma’afin gw juga, seharusnya gw
g’ terlalu maksa loe. Nih minum dulu.” Katanya sambil meyerahkan sebotol air
mineral kepadaku. Aku segera saja menghabiskanya, hingga tersisa setengah
botol.
“Eh, ma’af Adrian, aku lupa
sisa’in buat kamu, nih” Ucapku sedikit malu menyerahkan botol itu lagi padanya.
Ia hanya tertawa kecil sambil mengeluarkan sesuatu dalam tas kecilnya. Tanpa
kusadari, ia mengelap wajahku dengan handuk berwarna hijau itu dengan tanganya,
dengan masih menyimpan sesungging senyum di bibirnya, memperhatikan peluh di
dahiku. Aku sedikit segan pula dengan sikapnya itu.
“Nanti siang, loe datang lagi ke
perempatan ini ya, gw akan ajak loe ketemu trainernya, tapi ingat, loe harus
lebih semangat lagi, soalnya latihan dengan trainer akan lebih berat dari
jogging ini.” Jelasnya kembali memasukkan handuk kecil itu ke dalam tasnya.
“Siap
bos” Jawabku enggan isyarat hormat. Membuatnya tertawa pelan.
Semua yang dikatakan Adrian
benar, latihan dengan trainer, membuatku frustasi. Aku kerap kelelahan, karena
belum terbiasa dengan semua kegiatan yang terlalu melelahkan. Kini telah 1
minggu aku menjalani latihan, waktu yang ditunggu-tunggu untuk menentukan
apakah semua yang aku lakukan selama 7 hari ini tak sia-sia. Dengan takut-takut
aku naik ke atas timbangan, sedikit ragu aku tak yakin melihat hasil yang akan
memuaskan di depan jarum timbangan.
“2 kilogram. Kamu berhasil turun
2 kilogram” Ucap si trainer dengan wajah tenang
“Cuma 2 kilogram, selama satu
minggu ini aku latihan keras, dan Cuma turun segitu.” Ucapku putus asa, sambil
memandang Adrian dengan wajah panas.
“Aliya, turun segitu udah ideal
koq, lagian masih seminggu, mana bisa langsung turun 10 kilo, semua itu butuh
proses.” Jawabnya mencoba meyakinkanku. Aku hanya bisa mengangguk mendengar
penjelasanya. Dengan langkah gontai aku mendahuluinya ke luar dari tempat Gym.
Aku benar-benar kecewa dengan
hasilnya, karena bagiku, aku tlah berusaha keras melakukan semuanya, jogging,
sit up ataupun push up dan latihan – latihan lain serta menahan nafsu makan yan
setengah mati membuatku tertekan, tak kusangka akan seberat ini menurunkan
berat badan. Aku benar-benar lelah.
“Eh, ngelamun aja, masih mikirin
yang tadi ya.” Tiba-tiba Adrian datang mengejutkanku dari belakang.
“Enggak
koq, aku percaya semua itu butuh proses sama kayak yang kamu bilang tadi.”
Jawabku setengah berbohong. Ia hanya tersenyum kecil seraya menggiring motor
besarnya.
“Ya udah ikut gw yuk, hari ini
loe kan udah janji mau......” Belum sempat Adrian menyelesaikan ucapanya aku
segera menyahut.
“Ketemu ibu kamu kan?”
“Akhirnya
loe inget juga.” Tanpa banyak kata lagi aku dan Adrian bergegas pergi
meninggalkan tempat Gym menembus keramaian jalan raya.
“Owh ini yang namanya Aliya” Ibu
Adrian sangat cantik, seperti seoang ratu yang berwibawa dengan balutan jilbab
warna merah muda yang tampak lembut, sepadan dengan kulitnya yang kuning
langsat. Pantaslah Adrian menjadi cowok yang ganteng, ibunya saja awet muda.
Aku merasa sangat minder di tengah-tengah
mereka. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di depan rumah mewah yang kusebut
istana ini, jantungku sudah berdetak-detak tak karuan. Aku tak pernah membayangkan
bisa masuk ke dalam rumah Adrian dan bertemu dengan ibunya. Bak seorang putri
raja yang aka dipersunting pangeran. Bagiku ini semua adalah suatu keajaiban
yang tiba-tiba terwujud.
“Senang bertemu dengan tante” Aku
yang sedari tadi bungkam karena bingung dengan apa yang seharusnya kukatakan,
membalas sapaan ibu Adrian. Meski dengan tingkah kikuk dan kaku, aku mencoba
untuk tetap menunjukkan senyum manisku.
Tante marina, itulah panggilan
akrabku denganya, walau tak berapa lama saling beradu pandang, aku dengan mudah
merasa nyaman sa’at bersamanya. Sungguh berbeda dengan Adrian, Tante Marina
adalah orang yang baik dan sangat rendah hati. Senyumnya yang teduh seakan
mengingatkan pada ibu kandungku sendiri.
“Adrian itu anak tante
satu-satunya,karena itu banyak harapan besar yang tante inginkan darinya. Sikap
angkuh dan aroganya itu sangat mirip dengan papanya, setelah kami berdua
bercerai watak kerasnya semakin menjadi-jadi, jadi tante mohon, kamu bantu
Adrian untuk bisa bersikap lebih baik, teman-teman di lingkunganya justru
semakin menjerumuskanya ke hal-hal yang tidak baik”. Pandanganya menyiratkan
berbagai makna, bulatan matanya yang hitam seolah terbaca olehku akan harapan
besar yang ia embankan padaku.
“Sebisa mungkin, saya akan
berusaha untuk mewujudkan keinginan tante.” Jawabku dengan sungguh-sungguh.
“Eh, lagi ngomongin apa nih?”
Tampak Adrian muncul dari belakang seraya meminum kaleng soda, jemarinya segera
meraih tanganku, seperti isyarat bahwa aku tak seharusnya berbicara terlalu
lama dengan ibunya.
“Eh, mau kemana Adrian?”Ujar
tante Marina dengan cepat.
“Mau nganterin Aliya pulang,
lagian Aliya pasti udah capek, iya kan?”Katanya lagi sambil melirikku tajam.
“Eh iya tante, Aliya pulang dulu
ya?” Setelah berucap demikian, Adrian
bergegas menyeretku berlalu dari ibunya menuju motor besarnya di teras depan,
setengah berlari aku mengikuti langkah panjangnya, yang tampak penuh emosi
dalam kebisuan.
“Adrian,
kamu marah.” Kataku sejurus kemudian,sa’at berada di atas motor.
“Nggak!”Balasnya
singkat hampir tak terdengar.
“Maafkan
aku, aku baru tahu kalau orang tuamu sudah bercerai.”Terangku kembali dengan
takut-takut.
“Seharusnya
mama nggak usah cerita terlalu lebih sama orang asing kayak loe, lebih baik loe
diam aja!” Bentaknya lebih keras, seraya mempercepat laju motor di ambang batas
maksimal, menggambarkan luapan emosinya yang kini tak tertahan. Entah apa yang
ia rasakan, tapi yang jelas ia pasti geram padaku, yang seolah membuka luka
tentang hancurnya rumah tangga kedua orang tuanya.
“Adrian!”
Aku hanya bisa menjerit takut, merasakan bahwa peganganku pada besi – besi
motor itu bergetar hebat, membuat jari-jari dan kakiku seakan lumpuh karena
rasa ngeri menjalari sekujur tubuh. Mataku terpejam, tak lagi menggubris Adrian
yang berteriak – teriak kesetanan. Aku membiarkanya melepaskan semua beban yang
membelenggu jiwanya.
“Sadarlah
Adrian, sadar.” Doaku dalam batin.
Hingga
akhirnya motor besar yang berlari ganas itu terdiam di suatu tempat. Ragaku
seakan kaku, keringat dingin membasahi tubuh dan pakaianku. Setengah gemetar
aku turun dari motor dengan perlahan-lahan. Melihatku seperti itu Adrian
terdiam sejenak lalu dengan kedua tanganya ia memegang kedua bahuku keras,
kurasakan cengkraman itu makin keras.
“Loe
kenapa? Harusnya loe pegangan sama gw tadi. Gimana tadi kalau loe jatuh!”
“Kamu
bilang aku harus selalu pegangan pada motor kalau sedang kamu boncengin.”
Jawabku pelan tanpa membalas pandanganya yang masih lurus menatap mataku. Tiba-tiba tanpa kusadari Adrian merengkuh
tubuhku cepat. Aku dapat merasakan degup jantungnya yang berdetak kencang
seakan menahan sesuatu, perasaan amarah yang ia pendam. Dengan isak tangis
makin keras, ia mengeratkan dekapanya padaku. Aku hanya bisa mengusap lembut
punggungnya, dan berbisik pelan.
“Luapkan
semua kesedihanmu Adrian. Bebaskan semuanya, jangan ada yang kau pendam barang
sedikit saja. Keluarkan semua hal yang membuat rasa sakitmu berkurang.
“Selamat
Ulang Tahun Iyan.” Hari ini ulang tahun Adrian yang ke-20, ia diberi kejutan
oleh kawan-kawan sepermainanya di sebuah cafe.
“Eh yan,
gimana kalau habis ini kita party di club, sepuasnya, tapi loe yang bayarin
ya?” Ujar salah seorang temanya yang bernama Raka. Disambut tawa riuh kawanya
yang lain.
“Oke.....oke
hari ini kalian party deh sampek mabuk.” Tawanya yang keras itu berhenti
setelah ponsel dalam saku jeansnya berdering kencang. Sebuah sms masuk dari
layar hp-nya.
“Adrian,
aku mohon cepet kamu ke sini, aku jatuh keserempet motor di depan Jalan Asih
Jaya, di sini lagi g’ ada orang, aku g’ bisa berdiri lagi, kakiku berdarah ”
Setelah membacanya Adrian segera berlalu dari hadapan kawan-kawanya.
“Eh loe
mau kemana bro!” Cegah Raka kemudian
“Ma’af
Ka tapi gw harus pergi, ini lebih penting.” Jawabnya dengan gelisah, nampak
terburu-buru menuju motor besarnya.
Setelah
bertanya kesana-kemari pada orang-orang dimana letak Jalan Asih, akhirnya ia
dapati pula sebuah jalan setapak yang tak terlalu besar, di sekelilingnya
banyak pepohonan rindang. Dan sebuah bangunan dengan papan nama bertuliskan
Panti Asuhan “Asih Jaya”.
“Mana si
Aliya, katanya ketabrak di sini.” Matanya tetap berusaha mencari ke sgala
penjuru.
“Hei!
Adrian.” Sapaku dari balik punngungnya. Ia nampak terkejut sekaligus geram
melihat keadaanku yang aman-aman saja.
“Apa-apaan
nih, katanya kaki loe g’bisa jalan, nih malah lari-lari.”
“Kamu
ternyata perhatian juga ya.” Godaku dengan tawa manja, membuat pipinya merah
menahan malu.
“Kalo
emang loe g’ apa-apa lebih baik gw pergi.” Jawabnya bergegas pergi dari tempat
itu.
“Eh
jangan pergi dulu dong.” Tanganku segera menahanya
“Ada apa
lagi.” Katanya tak sabar dengan wajah kesal membuang muka.
“Ikut
aku sebentar aja, ada yang harus kutunjukan sama kamu.” Meski dengan menggerutu
dan bergumam g’ jelas, ia mengiyakan saja ajakanku dengan setengah hati.
“Surprise!!!”
Ruangan ini indah sekali, bertemakan warna biru kesukaan Adrian, dan spanduk
besar bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Kak Adrian, kami semua menyayangimu”.
Anak-anak yang telah berkumpul dengan segera menyanyikan lagu “Happy Brithday”.
Ia tertegun beberapa saat tanpa reaksi apapun, bahkan sampai
anak-anak berhenti bernyanyi, ia tetap diam seribu bahasa.
“Adrian, kamu bengong?” Aku melambaikan tangan di depan
tatapan matanya yang kosong. Usahaku berhasil ia menoleh menatapku tajam.
“Loe yang udah siapin semua ini.” Ucapnya dingin.
“G’ juga koq, adik-adik sama ibu panti juga ikut bantu”
Jawabku seceria mungkin, meski dengan perasaan khawatir dengan tanggapanya
setelah ini.
“Terima Kasih Alia ” Ucapnya tertawa pelan serya mengusap
rambutku membuatnya berantakan.
“Adrian!!!! Ngagetin aja sih” Gerutuku meninju lenganya.
Tanpa menghiraukanku lagi, ia membaur dengan anak-anak panti dihadapanya yag
hanya tersenyum polos melihatnya berdiri saja sejak tadi.
“Adik-adik makasih juga ya? Kak
Adrian seneng banget. Sekarang ayo potong kuenya, kita makan sama-sama. Kakak
udah laper nih.” Tingkahnya bergaya lucu dengan mengusap perut, meskipun agak
kaku tapi aku tahu ia terlihat bahagia dengan usaha anak-anak ini.
“Kamu seneng ga’, sama hadiah dari aku, ya ma’af aku g’ bisa
ngasih kado yang mahal kayak te........”
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, jemarinya mendarat
di bibirku seolah mengisyaratkan bahwa kalimat itu tak seharusnya ia dengar.
“Kamu tahu, ini hadiah paling indah yang pernah aku terima”
Ujarnya masih mengulum senyum.
Aku masih menatapnya heran, sambil iseng meletakkan tanganku
di dahinya.
“Apa’an sih? Emangnya gue lagi sakit.” Gerutunya dengan
wajah sewot.
“G’ juga sih tumben kamu pakek bahasa “aku kamu” segala,
biasanya juga “gw loe” “ Kataku tertawa pelan meninggalkan ia yang terlihat senyum-senyum
sendiri tengah asik dengan dunianya sendiri.
“Yeee omonganku malah g’ didengerin.” Tapi ia masih tetap
sibuk sendiri, meski akhirnya ia menoleh pelan kepadaku, masih sama dengan
tatapan tajam itu yang memaksaku berpaling pada lapangan luas berumput hijau di
depanku.
“Adrian, kamu tahu g’?” Ucapku pelan sambil memainkan rerumputan basah
di sekitar ku bersandar.
“Tau apa, gendut???” Jawabnya seraya mengacak rambutku usil.
“Males banget, kalau kamu panggil aku kayak begituan, memang
bener sih aku baru turun 8 kilo doang.”
Balasku tak kalah sewot denganya yang biasa ngambek tanpa sebab.
“8 kilo loe anggap doang, itu kemajuan pesat tau?? Sini coba
gue lihat, udah kurusan juga loe,hehehehehe” Katanya lagi lebih usil mencubiti
pipiku dengan tawa jahat seperti biasanya.
“Adrian.......stop.....stop....sakit nih!” Meski sakit...
aku ikut tersenyum geli juga melihat dia bisa tertawa lepas sekarang.
“Oke.....oke loe mau ngomong apa tadi?” Ucapnya masih
memegangi perut, jelas sekali ia masih menahan tawa di guratan wajahnya.
“Kamu tahu g’ , kamu itu lebih beruntung daripada mereka.
Dari kecil mereka, sudah hidup sendirian
tanpa mengenal orang tuanya. Bukanya aku sok menggurui kamu, tapi itulah hal
yang kamu harus sadari. Orang tuamu mungkin tidak bisa bersama-sama lagi. Dan
itu adalah jalan terbaik bagi mereka berdua. Kamu harus bisa menerimanya. Meski
mereka tak saling mencintai tapi mereka akan selalu mencintaimu sampai
kapanpun. Jadi jangan mengecawakan mereka dengan tindakan-tindakan nakal kamu
Adrian.” Dengan ragu aku masih takut melihat reaksi di wajahnya, kuberanikan
diri menoleh untuk memastikan ia tak lagi emosi, karena biasanya ia sangat
membenci mengingat masa lalu orang tuanya. Namun, yang kulihat justru
sebaliknya, ia hanya terdiam dan menggumam pelan, di sudut matanya bulir mata
itu tampak, meski aku tahu ia berusaha menahanya. Baginya pantang menangis di
depan perempuan.
“Adrian kamu g’ pa pa kan?” Ujarku khawatir.
“Dulu sejak gw kecil, gw udah hafal banget dengan perilaku
bokap yang temprament. Semenjak remaja gw sering keluar dan menghabiskan hidup
gw untuk senang-senang hanya karena ingin lepas dari trauma masa lalu. Tapi
tanpa gw sadar itu mungkin membuat nyokap kecewa sama gw. Mama salah sangka,
tingkah laku gw yang menyimpang ini bukan karena gw protes mereka pisah, ini
hanya karena gw merasa gw harus melepas semua beban, yang terkadang membuat
emosi gw g’ terkendali.” Jelasnya panjang lebar sambil menyeka bulir-bulir air
mata yang tak ingin terlihat olehku.
“Banyak hal positif yang bisa kamu lakukan untuk membuatmu
move on dari trauma masa lalu, seperti mengasihi anak-anak yatim piatu yang ada
di sini, kamu lihat sendiri kan, mereka seneng banget ketemu sama kamu tadi. G’
hanya senang-senang, yang bisa membuat kamu bahagia, Adrian” Ucapku pelan,
membuatnya tersenyum pelan, senyum tulus yag baru pertama kali kulihat semenjak
aku bertemu denganya.
“Mama gw bener, loe
malaikat yang menyinari hati gelap gw “Alika Dafa Nadya”
“Apaan sih dasar lebay.” Balasku meninju lenganya keras.
“Sakit juga tonjokan loe, bener-bener bakat jadi preman nih
tangan.” Ledeknya lagi memegang otot lenganku seolah-olah aku seorang binaraga.
“Adrian, jangan bercanda teruuuuuuus......”
Sore itu aku menghabiskan waktu
bersama Adrian, dengan canda dan tawa yang slama ini dirindukan. Oleh hati dan
perasaan yang terpuruk dengan keadaan. Memang tak ada yang perlu disesali. Yang
kita lakukan hanya memandang apa yang
ada di depan. Bukanya takut melangkah karena selalu menoleh ke belakang.
Kenangan buruk bukanlah memori yang pantas untuk disimpan.
Hari ke-8 menuju papan timbangan, rasanya sama seperti
biasa, sedikit gugup layaknya murid yang menanti pembagian raport, akankah
nilaiku terlampau merah hingga jarum timbangan ini tetap berada di angka yang
sama.
“56, berat kamu sudah ideal Alia.”Ucap trainerku sambil
mengulum senyum puas.
“Beneran pak, usaha saya g’ sia-sia. Terima kasih atas bantuanya ya?.” Balasku
menjabat tanganya senang.
“Tapi kamu harus tetap menajaga berat badanmu agar g’ naik
lagi.”
“Siap pak” Tegasku cepat dengan isyarat hormat.
“Ya sudah bapak pamit dulu, ada tamu di depan, yang harus
segera saya temui.”
“Ya pak saya di sini saja, masih nunggu Adrian.”
“Oke bapak tinggal dulu ya” Ia segera berlalu meninggalkanku
di ruang tunggu. Namun tiba-tiba datang seorang ibu-ibu setengah baya, masuk
dengan tergesa-gesa. Segera saja, setelah melihat wajahku ia tampak tersenyum
lega, dan menghampiriku perlahan.
“Non Alia????” Ucapnya sopan
“Ya saya Alia, panggil Alia saja ya bu’?”
“Non harus segera ikut saya sekarang.” Ujarnya tanpa
basa-basi, menyeret tanganku mengikutinya yang setengah berlari, menuju pintu
keluar.
“Eh, bu, ini saya mau dibawa kemana?” Kataku panik.
“Sudah non tenang saja.”
Balasnya singkat seraya memberhentikan salah satu taksi dan memaksaku masuk bersamanya.
Entah mengapa? Aku menurut saja dengan ibu ini. Kelihatanya ia orang baik-baik.
“Gimana non, sekarang coba buka mata” Terdengar suara
ibu-ibu yang menyentuh bahuku pelan. Aku segera membuka mata dan mendapati
sosok bayangan cermin yang tepat berada di depanku. Seorang wanita cantik yang
wajahnya terlihat tak asing bagiku. Tunggu!! Dia mirip denganku.
“Ini aku bu’?” Kataku bengong masih tak percaya dengan apa
yang kulihat.
“Ya iyalah non siapa lagi?” Ucap bibi itu pelan seraya
berlalu dari hadapanku dan segera kembali dengan gaun indah berwarna biru di
tanganya.
“Sekarang non pakek ini ya?”
Ucapnya lagi dengan menyodorkan gaun itu kepadaku.
Aku masih tak percaya dengan semua ini, aku masih tampak
setengah sadar untuk memahami semua hal yang baru saja kualami. Aku lulus
dengan berat badan ideal, didandani super cantik oleh bibi baik yang tak
kukenal, dan sekarang aku diantar sebuah mobil mewah yang entah kemana mereka
akan membawaku.
“Non, sudah sampai.” Ujar pak sopir pelan.
Aku masih saja belum turun dari mobil mengamati sekeliling.
Tiba-tiba pintu mobil terbuka, dan tebak siapa yang menjemputku saat itu.
“Adrian.” Aku kembali terkejut untuk kedua kalinya, kejutan
apa lagi ini.
“Ayo tuan putri, kamu harus ikut sama aku.” Ucapnya pelan
menuntunku keluar dari mobil. Pemandangan di luar sangat bagus, ini taman kota
yang sering kulewati saat naik bus untuk berangkat sekolah, tapi baru kali ini,
aku masuk dan melihat isi di dalamnya.
“Selamat Ulang Tahun Alia” Ia berbisik pelan di telingaku,
membuatku tersenyum kecil.
“Kamu ingat ulang tahunku, aku aja hampir lupa kalau
sekarang ulang tahun.”
“Bagaimana Adrian bisa lupa sama ulang tahun pacarnya.”
Ucapnya lirih seraya berlalu meninggalkanku yang masih sibuk dengan fikiranku
sendiri mendengar ucapan Adrian barusan.
“Adrian, tunggu..!” Seruku berlari menyusulnya yang semakin
jauh, menghilang di balik tembok bercat biru muda itu. Aku terdiam sejenak melihat keramaian di
sekitar tempat ini. Di balik tembok ini banyak berjejer kursi putih yang ditata
rapi dengan pita merah muda yang begitu manis. Ada panggung kecil namun cantik
di depan, beserta alat-alat musik lengkap yang menghiasi.Kecil namun megah
pikirku.
“Hei ngelamun aja.” Lamunanku akan kekaguman dengan tempat
ini buyar seketika, saat seorang pria yang tampak familiar menepuk bahuku.
“Ngagetin aja sih,” Ucapku kesal membuat ia tertawa geli.
“Oh aku tahu kamu, pasti suka sama desain resepsi yang aku
buat ini ya? Kamu tau g’ ini semua khusus buat kamu?” Ucapnya memandangku yang
hanya bisa diam bengong.
“Tunggu, tunggu, aku belum siap nikah, lagian kamu harus
minta restu sama Ayah Ibu aku.” Kataku panik, mengambil kesimpulan sendiri.
“Hah? Kamu kira kita yang mau nikah?Gr banget sih loe?
Hehehehe” Ia tertawa lepas, puas meledekku habis-habisan, kalau saja aku tidak
memakai sepatu high heels, mungkin aku sudah berlari pulang saking malunya.
“Ih usil banget sih, trus siapa dong yang mau kawinan.”
Kataku mengalihkan pembicaraan.
“Ini resepsinya paman gw, tapi gw yang desain semuanya.
Bagus kan? Gw tahu loe pasti suka.”
“Ya bagus sih?” Kataku pelan, mengedarkan pandangan agar ia
tak bisa melihatku yang mulai salah tingkah.
“Yaelah masih malu ya? Tuh pipinya merah.” Ia kembali
terkekeh sambil trus mencubiti pipiku yang tak lagi chubby.
“Ini bukan karena malu tapi karena sering kamu jewerin. Nih,
nih rasain.” Tak mau kalah aku membalas mencubiti pipinya lebih keras.
“Eh udah........udah sakit tau, tapi menurut gw, loe lebih
baik gendut lagi deh, pipi loe kurang chubby buat gw cubitin. Gw kan suka liat
loe tersiksa.”
“Adrian...!”Teriakku kesal mengikutinya yang lagi-lagi
berlari menghindari seranganku. Tapi...........Ups!! Aku tak sengaja menabrak
seorang pria berpakaian putih rapi.
“Ma’af, saya g’ sengaja.” Ia terlihat kaget sebentar lalu
memperhatikanku dan tersenyum seolah mengenali wajahku yang asing di tengah
keramaian ini.
“Alia ya? Wah kebetulan kamu sudah datang, jadi kamu nyanyi
di acara pernikahan om. Kata Adrian suara kamu bagus banget.” Ucapnya masih
dengan senyum keramahan.
“Nyanyi om, Ma’af tapi Adrian itu bo..........” Belum sempat
aku mengucapkan kalimat terakhir seseorang sudah berteriak dari atas panggung
memanggil namaku.
“Alia Dafa Nadya, dipersilahkan untuk menuju panggung.”
Adrian mengulurkan tanganya, mengajakku naik bersamanya. Tapi aku masih
memandangnya tajam, kuharap ia bisa mengerti bahasa kemarahan yang kusiratkan
dengan kedipan mata.
“Yaelah kenapa matanya kelilipan.” Ia malah bercanda sambil
tetap memaksaku naik ke atas panggung.
“Ayo.....Alia, jangan malu-malu.” Keramahan om Adrian
memebuat luluh juga. Awas nanti kalau acara ini udah selesai. Habis kamu sama
aku!!!!
“Iii iy.yya om” Jawabku ragu sambil menuruti perintah om dan
keponakanya bernama Adrian, cowok usil super nyebelin.
Aku mendapati Adrian yang masih senyum-senyum g’ jelas
sambil melirik mik dihadapanya dan memberikanya padaku.
“Aku yang main gitar, kita nyanyi bareng.” Ucapnya kemudian
seraya mengambil gitar yang tampaknya begitu sering kulihat.
“Tunggu, ini kan gitar aku.”
“Kamu punya gitar, tapi g’ bisa main.”
“Yah, ibu aku yang beliin, kamu kira belajar main gitar itu
g’ sulit, kalau g’ ada yang ngajarin.” Balasku sewot.
“Oke, kalau kamu, mau nyanyi dengan bagus hari ini, aku
janji akan ngajarin kamu main gitar, gimana?”
“Tapi aku g’ bisa nyanyi Adrian,kamu asal aja kalau nyuruh.”
Tegasku lagi, yang dimarahin malah berlalu pergi dan kembali membawa handphone.
“Gw tahu koq, keinginan loe yang belum terwujud, adalah
nyanyi di depan orang banyak, saat pensi, loe selalu tiba-tiba nangis ngelihat
temen cewek loe yang lagi nyayi
acoustic. Dan rekaman di hp ini, membuktikan kalau suara loe itu aslinya bagus.
Aliaaaa” Ucapnya setengah berteriak dihadapanku yang masih heran dengan semua
pernyataan yang kenyataanya memang benar. Dan rekaman di hp itu gimana caranya
bisa ada di handphone. Itu salah satu dari rekaman g’ jelas tentang aku yang
lagi nyanyi skyscrapper-nya Demi Lovato tanpa diiringi alat musik. Dan semua rekaman
itu aku lakukan di laptop milik.............Ya ampun aku ingat.
“Kamu dapat ini dari Sani?”
“Maybe” Jawabnya masih sibuk dengan gitarku.
Aku segera mengedarkan pandanganku ke segala arah, dan
mendapati Sani yang melambaikan tangan seolah tersenyum puas turut andil
mengerjaiku bersama Adrian.
“Udah siap.” Pandanganku ke arah Sani teralihkan oleh suara
Adrian yang mulai memainkan musik.
“Siap apanya?????” Tapi ia tetap melanjutkan permainan
gitarnya tanpa menghiraukan keluhanku. Apa boleh buat, aku mulai menikmati
setiap nada yang ia mainkan. Aku mengenal lagu ini, tanpa sadar aku mulai
menyanyi membaur dengan irama lagu a thousand years yang ia tawarkan padaku.
Heart beat fast
Color and promises
How to be brave
How can i love when i’m afraid to fall
But watching you stand alone?
All of my doubt
Suddenly goes away somehow
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid.
I have loved you for A thousand years.
Tepuk tangan itu masih menggema di telingaku. Mereka semua
menyukai penampilanku. Ini semua keajaiban bagiku. Keponakanku saja mengnggap
suaraku seperti radio rusak.
“Kamu hanya takut untuk mencoba, karena krisis percaya diri,
kalau aku belajar untuk memperbaiki sikapku, belajarlah untuk percaya pada
kemampuan diri sendiri Aliya.” Ucapnya seraya mengambil mik di hadapanku. Aku
hanya tertegun mendengar penuturanya. Benar Adrian, kamu memang benar dari
dulu, aku selalu minder dengan sgala kekuranganku, aku tak pernah bisa bebas
bergaul dengan semua orang,karena aku takut mereka tak bisa
menerimakekuranganku. Aku janji akan belajar percaya bahwa Allah menciptakan
manusia dengan semua kelebihan dan kekuranganya.
“perhatian semuanya?” Teriakan keras Adrian di depan mic
memebuat semua orang terdiam.
“Wanita di samping saya ini, adalah teman terbaik saya
beberapa hari ini, dia yang telah menyadarkan saya bagaimana caranya menghargai
hidup sendiri, memaafkan masa lalu dan mencoba memperbaiki diri. Karena itu
saya ingiin mengucapkan terima kasih sama dia. Eh dia hari ini lagi ulang tahun
yang ke-18 loh. Kalau boleh saya minta, para hadirin untuk menyanyikan sebuah
lagu khusus buat Alia.”
“Selamat Ulang tahun......selamat ulang .........Selamat
Ulangtahun...Selamat ulang tahunya semoga panjang umur.....yeeeeee!”
“Selamat Ulang tahun ya Alia.”
“Aliya, selamat ulang tahun.”
Mereka semua mengucapkan selamat ulang tahun padaku, padahal
dulu, hanya aku ibu dan Sani yang biasanya merayakanya bersamaku.
“Dan ini buat kamu Alia” Ujar Adrian, tiba-tiba sambil
mengalungkan liontin berbentuk hati di leherku.” Aku memandangnya bahagia
dengan tatapan mengucap terima kasih, ia hanya mengangguk dan memelukku pelan.
Ia berbisik lembut di telingaku.
“Aku cinta sama kamu Aliya, kamu mau jadi pacarku?” Ia
melpaskan pelukanya dan memandangku seolah menunggu jawaban dariku. Dengan
masih mengulum senyum, aku mengangguk dan menjawab dalam hati.
“Aku mau Adrian.”
“Baiklah untuk merayakan pesta pernikahan om saya dan hari
jadian saya sama Aliya gimana kalau kita nyanyi lagi.” Ucap Adrian lantang
disambut meriah oleh para tamu undangan.
Kupejamkan mata ini saat kurindu hadirmu
Maka tak sedetikpun bayangmu menghilang
Begitu hebatnya rasa yang Tuhan sedang titipkan.
Padamu...padamu.....
Untukku............untukku.......
Kau lebih dari sekedar bintang-bintang
Kau lebih dari sekedar sang rembulan
Kupastikan aku kan slalu ada untukmu.
Aku tahu dulu...........kamu hanya mimpi Adrian. Mimpi yang
hanya bisa hadir saat aku terlelap dalam malam. Tapi kini, kamu benar-benar ada
di sini bersamaku. Dan aku tahu......... Hidupku akan berubah sa’at Adrian
datang.
0 komentar:
Posting Komentar